MEMBANGUN PANCASILA DALAM DINAMIKA POLITIK GLOBAL
Oleh : Moh. Arief Kurniawan
(Mahasiswa Jurusan Ilmu Hukum UNG)
|
Lebih dari dua dasawarsa lamanya setelah kran reformasi dibuka bangsa Indonesia khususnya rakyat menantikan akan kehidupan yang lebih baik dari hari-hari sebelumnya, “just wanna to be better than I have ever been”. Kehidupan masyarakat yang adil dan makmur, paling tidak seperti itu mimpi dan hayalan yang ada di fikiran rakyat kecil dan menengah yang hidup hari ini. Mereka berharap akan datangnya juru kunci dari langit untuk merubah nasib mereka. Juru kunci yang dimaksud bukanlah seorang nabi ataupun malaikat melainkan adalah seorang pemimpin yang dibukakan hati dan fikirannya oleh Tuhan Yang Maha Kuasa untuk memperbaiki bangsa ini. Pemimpin yang mampu merasakan apa yang menjadi kebutuhan rakyatnya. Seorang pemimpin yang akan menjadi wakil mereka untuk menjalankan aspirasi rakyatnya.
Di era mordenisasi saat ini sebenarnya mimpi bukananlah solusi tetapi hanya menjadi obat penenang sementara untuk rakyat. Dan solusi yang sesungguhnya adalah memberikan mereka pemahaman akan makna demokrasi yang sesungguhnya. Pada hakekatnya, bahwa negara-negara yang menganut sistem demokrasi, kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat dan bukan dipegang penguasa secara mutlak. Demokrasi merupakan suatu sistem pemerintahan yang banyak diatur oleh bangsa-bangsa yang ada di dunia dewasa ini. Hal tersebut berawal dari pemikiran bahwa demokrasi adalah suatu sistem pemerintahan yang berorientasi pada kedaulatan rakyat. Setiap prinsip-prinsip demokrasi dan prasyarat berdirinya negara demokrasi telah mengakomodasi dalam suatu Konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pembukaan UUD 1945 terutama alinea keempat, yaitu”...kemerdekaan kebangsaan indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia.”
Pernyataan yang terdapat dalam pembukaan UUD 1945 tersebut, mengisyaratkan bahwa bangsa indonesia menjunjung tinggi nilai-nilai kedaulatan rakyat dan meletakkan dasar demokrasi sebagai landasan penyelenggara negara. Keberadaan demokrasi yang termuat dalam pancasila dapat ditemukan dalam sila keempat, yaitu kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Adapun demokrasi pancasila sebagai budaya demokrasi yang bercorak khas indonesia mengandung prinsip-prinsip sebagai berikut: pemerintahan yang berdasarkan atas hukum, perlindungan terhadap hak asasi manusia, pengambilan keputusan atas dasar musyawarah, peradilan yang merdeka, adanya partai politik (parpol) dan organisasi sosial politik (orsospol).
Demokrasi pancasila merupakan suatu paham demokrasi yang bersumber pada pandangan hidup atau falsafah hidup bangsa indonesia. Pemerintahan suatu negara yang demokratis harus mampu melibatkan rakyat secara penuh untuk turut serta membangun kedaulatan, jalannya pemerintahan, dan menjadi bagian dari organisasi kekuasaan negara.
Persoalan elementer bangsa Indonesia hari ini sesungguhnya sudah cukup kompleks dalam setiap preodeisasi yang terjadi. baik itu dibidang social-politik, budaya ekonomi dan hukum apalagi. Diera kids zaman now saat ini kita semuanya seolah terbawa oleh irama yang dialunkan oleh liberal kapitalis dan sosial kolektivisme dalam pertarungan untuk memperebutkan ruang dan waktu dengan pijakan filsafat materialismenya. Kedua ideologi ini
memang terlihat berbeda tetapi kalau dikaji secara mendalam memiliki tujuan yang sama. Mengapa ruang dan waktu diperebutkan ? ruang adalah tempat, wilayah dimana manusia hidup dan waktu adalah seluruh rangkaian saat ketika proses, perbuatan, atau keadaan berada atau berlangsung. Ruang dan waktu harus di isi dan dikuasai dengan ideologi mereka melalui semua sektor yang ada. Blok barat dan blok timur sukses memainkan peranananya untuk membuat negara non blok tak berdaya khususnya Indonesia sebagai negara dunia ketiga dengan ideologi pancasilanya.
Negara adikuasa seperti China dan dikuti Amerika Serikat memliki kekuatan materil yang amat sangat luar biasa dalam memainkan perannya dalam mengontrol setiap sector yang fundamental terhadap negara-negara dunia ketiga. Supremasi hukum mampu dikalahkan oleh kekuatan materil mereka sehingga kekuasaan materilnyalah yang menentukan jalannya instrumen hukum internasional yang mengatur kehidupan antar bangsa. Tindakan politis merekalah yang lebih kuat ketimbang supremasi hukum.
The politics of international law yang ditulis oleh Cristian Reus Smith, mengutarakan pendapatnya mengenai hubungan hukum internasional dan politik internasional. Khusunya dalam pandangan aliran realisme, yang mengatakan bahwa hukum internasional, untuk dapat terbentuk dan eksis, memerlukan suatu kondisi “balance of power”. Lebih lanjut, realis mengatakan bahwa dasar dari hukum internasional adalah power, namun hukum internasional itu sendiri tidak boleh bertentangan dengan negara karena apabila sampai bertentangan, maka hukum internasional harus tunduk pada negara. Kaum realis berpendapat bahwa yang terpenting adalah politik, hukum bukanlah apa-apa jika tanpa politik. Dengan fokus pembicaraan adalah negara sebagai aktor utama, realis berpikir bahwa hukum internasional itu ada untuk mewujudkan kepentingan nasional negara berkuasa; hukum internasional merupakan bentuk dari hukum primitif, di mana negara dominan merupakan penguasa dari hukum internasional tersebut. Karena itu tidaklah heran jika peraturan-peraturan di dalam hukum internasional tersebut lebih membela negara dominan atau negara negara yang memiliki kekuatan.
Hukum internasional dimanfaatkan oleh negara maju terhadap negara berkembang untuk dua hal. Pertama adalah untuk terlibat dalam kebijakan dalam negeri negara berkembang. Kedua dalam rangka menekan negara berkembang untuk melakukan tindakan yang sesuai dengan kebijakan dari negara maju.
Perjanjian internasional kerap digunakan oleh negara maju untuk melakukan intervensi terhadap masalah domestik negara berkembang. Intervensi yang dilakukan tidak terlepas dari kepentingan nasionalnya. Kebanyakan negara maju yang merupakan negara barat dan hari ini china yang memimpin dalam sektor ekonomi dunia membungkus kepentingannya dengan hukum internasional. Kepentingan negara maju sangat bervariasi, mulai dari yang bermotifkan ekonomi, hingga menjunjung nilai kemanusiaan dan menjaga kelestarian lingkungan hidup dunia. Dalam masalah perdagangan internasional, negara maju sangat menghawatirkan tindakan negara berkembang yang setelah merdeka dan memiliki kedaulatan untuk membuat hukum internasionalnya cenderung mengambil kebijakan yang berimplikasi pada penutupan pasarnya dari barang dan jasa asal luar negeri. Kebijakan ini tentu berakibat buruk pada para pelaku usaha negara maju. Padahal pasar negara berkembang merupakan pasar yang sangat besar meskipun masih dalam taraf awal. Oleh karnanya negara maju merasa perlu untuk mencegah negara berkembang untuk mengambil kebijakan yang bersifat protektif terhadap industrinya ataupun kebijakan yang berakibat pada tertutupnya akses pasar. Tindakan ini dilakukan mengingat bagi negara maju salah satu faktor maju mundurnya perekonomian mereka bergantung pada keberhasilan pelaku usahanya mengekpolitasi pasar luar negeri. Perjanjian internasional akan dirancang oleh negara maju yang esensinya akan berpengaruh pada kebijakan dan hukum nasional dari negara berkembang.
Selanjutnya negara berkembang akan didorong oleh negara maju untuk mengikuti berbagai perjanjian internasional yang dirancang olehnya. Bila akhirnya negara berkembang menjadi peserta ini membawa konsekuensi bagi negara berkembang untuk mentransformasikan ketentuan dalam perjanjian internasional kedalam hukum nasionalnya. Dengan demikian hukum nasional negara berkembang akan mencerminkan nilai-nilai yang dipercaya oleh negara maju. Bila perjanjian internasional telah di ikuti oleh negara berkembang, namun kebijakan yang diambil bertentangan dengan perjanjian yang diikuti maka negara maju tidak segan-segan akan menggunakan perjanjian tersebut sebagai alat penekan. Bahkan bila perlu menggunakan ketentuan yang ada dalam perjanjian internasional untuk ‘menghukum’ negara berkembang. Dengan demikian perjanjian internasional yang diikuti oleh negara berkembang akan digunakan sebagai medium intervensi urusan domestik sekaligus alat penekan oleh negara maju.
Dalam era reformasi telah banyak keluhan tentang rongrongan atas kedaulatan Republik Indonesia dalam proses legislasi. Republik ini seolah-olah tidak lagi memiliki kebebasan dalam membentuk peraturan perundang-undangan. Rongrongan terjadi sebagai akibat keikutsertaan indonesia antara lain dalam berbagai perjanjian internasional maupun ketergantungan indonesia kepada negara asing, lembaga keuangan internasional maupun perusahaan multinasional. Negara maju telah lama melihat adanaya ketergantungan negara berkembang, seperti indonesia, sehingga memanfaatkanya untuk melakukan intervensi dibidang hukum. Mereka tahu betul bahwa semakin negara berkembang bergantung secara ekonomi kepada mereka atau lembaga keuangan internasional yang mereka kendalikan maka semakin rentan negara berkembang tersebut untuk di intervensi. Pada intinya hukum internasional digunakan oleh negara maju sebagai pengganti alat kolonial untuk melakukan intervensi secara sah.
Para pengambil kebijakan di indonesia harus sadar, pinjaman yang diberikan ke indonesia oleh negara maju maupun lembaga keuangan internasional baik itu seperti World Bank, International Monetary Fund, dan Asian Development Bank harus dinegosiasi secara ekstra hati-hati. Hal ini dikarenakan pinjaman luar negeri pemerintah tidak bisa lagi disamakan ketika kreditur memberikan pinjaman kepada negara-negara eropa barat pasca perang dunia II. Pinjaman luara negeri melalui Marshall Plan telah berhasil mengembalikan Eropa Barat dalam keadaan semula. Bagi Indonesia dan kebanyakan negara berkembang, pinjaman luar negeri tidak akan mampu mengubah dari status negara berkembang menjadi negara maju. Justru sebaliknya bila tidak hati-hati pinjaman luar negeri (telah) menjadi beban, bahkan membawa negara Indonesia keambang kebangkrutan.
Hukum dapat berfungsi sebagai alat pengubah masyarakat, hukum dapat berfungsi sebagai alat pengontrol masyarakat, bahkan hukum dapat berfungsi sebagai instrumen politik. Sebagai instrumen politik, hukum dapat digunakan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Dalam kehidupan berbangsa. kita sudah sering melihat fungsi hukum sebagai instrumen politik kerap dilakukan oleh penguasa maupun mereka yang berada diluar kekuasaan. Penguasa kerap menggunakan hukum untuk mengukuhkan kekuasaan yang dimilikinya. Pemerintah dapat menggunakan hukum untuk membatasi bahkan membrangus kekuatan oposisi dan kegiatan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Sebaliknya kekuatan oposisi ataupun LSM dapat menggunakan hukum untuk menjatuhan pemerintah.
Reformasi hukum sudah kehilangan roh dan momentumnya, dan hanya bisa direvitalisasi dengan kemauan politik yang kuat dari pemerintah saat ini, dengan menghilangkan segala vested interest dari para pejabat, parpol, dan siapaun yang diuntungkan dengan keadaan yang stagnan dan status quo. Pertanyaan kemuadian muncul apakah reformasi yang terjadi pada tahun 1998 itu adalah keinginan politik atau kebutuhan politik untuk merubah sistem politik di indonesia pasa orde baru ? pertanyaan ini tentu membutuhkan jawaban yang tidak mudah, sebab, seandainya reformasi yang terjadi dengan
berhasil menjatuhkan soeharto dari kekuasaannya merupakan suatu keinginan politik yang menyertai gerakan reformasi pada waktu itu, namun apabila gerakan itu merupakan suatu kebutuhan politik, maka menjadi tanggung jawab bangsa indonesia untuk mereformasi sistem politik tersebut sampai ke budaya politiknya sehingga amanat reformasi yakni demokrasi dapat berjalan sesuai dengan maknanya. Kejadian reformasi tahun 1998 adalah bentuk keinginan poiltik dari elit-elit politik yang memang sengaja ingin menjatuhkan soeharto tanpa ada PlattForm atau pondasi yang kuat mengenai reformasi. Akhirnya sampai saat ini masih nampak jelas sistem dan budaya politik “semi” otoriter. Keinginan politik yang menjadi pilihan reformasi tidak meyentuh pada persoalan mendasar, yakni bagaimana menanamkan nilai-nilai demokratis pada bangsa ini, kemudian melakukan restrukturisasi orientasi poiltik sehingga menjauhi praktek-praktek dan percobaan sistem otoritarian. Keinginan politik seperti ini hanya akan berorientasi pada kekuasaan, elit- elit politik yang mempunyai pengaruh hanya ingin menyalurkan hasratnya pada kekuasaan, sehingga langkah-langkah dan perilaku politik mereka hanya memikirkan bagaimana mendapatkan kekuasaan dan bagaimana kekuasaan yang diperolah itu dapat dipertahankan, akibatnya, proses perbaikan negara ini mengalami “stagnan”. Perjalanan panjang bangsa indonesia sebagai sebuah negara dengan segudang pengalaman tidak cukup menjadikan negara ini sebagai negara yang modern. Hanya dalam masa tak sampai enam puluh tahun, kita telah mengalami hampir semua pengalaman dan tahapan yang dibutuhkan oleh sebuah negara-negara modern yang sudah mapan. Perang saudara, saparatisme, kudeta baik yang berhasil maupun lebih banyak yang gagal, inpasi, separasi, otoritarianisme, teror baik oleh negara maupun oleh masyarakat, transisi kearah demokrasi tidak ada satupun yang kita lewatkan. Seiring berjalan bersamaan dengan pengalaman tersebut tidak bisa dijadikan guru yang baik buat bangsa ini.
Kekuasaan yang diperebutkan dengan cara-cara “menipu” rakyat adalah bentuk kekerasan yang dilakukan oleh elit politik. Kepentingan politik lebih diutamakan dibandingkan dengan kepentingan rakyat, yang akhirnya sejak reformasi bergulir persoalan-persoalan bangsa ini tidak dapat diselesaikan, pergantian kepemimpinan dari Habibie, GusDur, Megawati, Susilo Bambang Yudhoyono, hingga kini Joko Widodo tidak mampu megurangi angka kemiskinan yang segnifikan. Pengangguran bertambah, tenaga kerja asing berlimpah, kejahatan kejahatan sosial semakin meningkat, Pemanfaatan sumber daya alam dibiarkan “dirampok” oleh negara lain. Sekalipun saat ini freeport telah melepas sahamnya sebesar 51% untuk indonesia akan tetapi masih banyak wilayah lain yang dikuasai asing terkait dengan cadangan energi terbaharukan di indonesia contohnya tambang China di Buol Sulawesi Tengah. Serta persoalan yang mendarah daging yakni korupsi tidak menjadi fokus utama pemerintah dari masa ke masa.
Kekuasaan politik dan kekerasan politik bagaikan sebuah mata uang yang tidak dapat dipisahkan, dimana ada kekuasaaan politik pasti melekat kekerasan politik. Perwujudan relasi kekuasaan dan kekerasan pada era sekarang tidak lagi tampil dalam ruang kongkrit yang melibatkan aktivitas fiskal. Keduannya beroprasi dalam sebuah ruang representasi yang menjadikan sumber daya simbol sebagai kekuatan abstrak untuk menciptakan kebenaran. Melalui representasi, sebuah realitas yang sebelumnya belum bisa dihadirkan bisa direpresentasikan kembali melalui mobilisasi sistem simbol, entah itu bahasa, wacana, gambar, dan semacamnya.
Reformasi saat ini telah gagal mewujudkan espektasi rakyat, keinginan politik adalah penyebabnya. Kegagalan saat ini dapat dilihat semakin bertambahnya kasus-kasus korupsi di indonesia, pelemahan-pelemahan lembaga penegak hukum, jual-beli kasus hukum, serta melindungi koruptor-koruptor kelas wahid. Warisan rezim orde baru belum sepenuhnya bisa lepas dari ruang lingkup pemerintahan, terlalu kuat pengaruh kekuasaan atas kehidupan politik masa kini, dengan kekuasaan semua kesalahan bisa dibenarkan dan yang benar bisa disalahkan. Ini adalah bentuk kejahatan yang telah mencederai amanat reformasi.
Sebagai sebuah rezim yang menjadi antitesis rezim sebelumnya autentisitas untuk secara ekspilsit berbeda dengan rezim sebelumnya adalah sebuah keniscayaan yang harus melekat pada rezim saat ini. Kasus-kasus korupsi yang melanda negara indonesia bagaikan sebuah senetron, kasus korupsi yang melanda diberbagai pemerintahan tumpang tindih, dan dengan pahitnya rakyat menyaksikan para koruptor itu merampok uang mereka yang seharusnya digunakan untuk kesejahteraan rakyat itu sendiri.
Sebagai sebuah rezim yang menjadi antitesis rezim sebelumnya autentisitas untuk secara ekspilsit berbeda dengan rezim sebelumnya adalah sebuah keniscayaan yang harus melekat pada rezim saat ini. Kasus-kasus korupsi yang melanda negara indonesia bagaikan sebuah senetron, kasus korupsi yang melanda diberbagai pemerintahan tumpang tindih, dan dengan pahitnya rakyat menyaksikan para koruptor itu merampok uang mereka yang seharusnya digunakan untuk kesejahteraan rakyat itu sendiri.
Keinginan untuk mereformasi sistem politik di indonesia mengalami banyak tantangan yang justru datang dari para elit politik, keinginan politik pada awalnya tidak mempunyai kesadaran akan kebutuhan perubahan bangsa ini, keinginan politik adalah pintu masuk bagi kepentingan-kepentingan keolompok dan golongan. Seandainya gerakan reformasi didasari pada kebutuhan akan pentingnya mereformasi bangsa ini, mendemokratiskan seluruh elemen bangsa, maka tidak perlu menunggu waktu yang lama untuk menikmati hasil perjuangan yang melatarbelakangi gerakan reformasi.
Reformasi sekarang adalah milik para pemegang modal yang anti rakyat, reformasi yang didalamya terdapat unsur-unsur kerakyatan kini diduduki oleh kaum sosial komunis dan liberal kapitalis yang lapar akan kekuasaan untuk menimbun harta rakyat. Kita perlu untuk merubah paradigma supaya mempunyai kekuatan kolektif yang menjadi ideologi untuk tetap mengawasi perjalanan demokrasi. Tanpa pengawalan masyarakat, demokrasi hanya akan menjadi wacana elit untuk merebut kekuasaan. Kegagalan reformasi saat ini disebabkan karna nilai-nilai Pancasila tidak lagi di jadikan sebagai landasan berfikir, bersikap dan bertindak oleh elemen bangsa indonesia. Ideologi luar adalah penyebabnya, Ideologi sosial komunis dan leberal kapitalis adalah penyakit wabah yang merongrong masuk mengrogoti ideologi pancasila hingga membuatnya lumpuh tak berdaya. Sehingga jangan heran jika cara berfikir hampir seluruh elemen bangsa Indonesia saat ini berpijak pada landasan materialisme ideologi barat dan timur.
Pancasila harus kita tegakkan, indonesia sebagai negara non blok sudah seyogyanya berdiri pada falsafah bangsa yaitu dalam proses pembangunannya, Pancasila harus dijadikan sebagai semangat dan arah yang ingin dicapai oleh negara dalam membangun bangsa ini. Persoalan elementer yang terjadi hari ini disebabkan karna tidak tegaknya nilai-nilai pancasila. Sehingga diperlukan kesadaran oleh seluruh elemen bangsa untuk menghayati akan makna yang terkandung di dalam nilai-nilai pancasila. Untuk dapat mencapai tujuan bangsa yang tertuang dalam UUD 1945 tentunya kita harus menggunakan ideologi pancasila sebagai paradigma kita dalam membangun jiwa bangsa. Karna nilai nilai pancasila itulah dasar filsafat UUD 1945. Nilai-nilai pancasila timbul dari bangsa indonesia, sebagai hasil penilaian dan pemikiran filsafat bangsa indonesia. Nilai-nilai pancasila juga merupakan filsafat (pandangan hidup) bangsa indonesia yang paling sesuai, yang diyakini oleh bangsa indonesia sebagai petunjuk yang paling baik, benar, adil, dan bijaksana dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Tidak ada ideologi yang memberikan keselamatan dunia dan akhirat selain ideologi pancasila. Ideologi yang mewajibkan manusia yang hidup dibumi indonesia untuk berketuhanan yang maha esa. Pengamalan sila ketuhanan yang maha esa, yang antara lain mencangkup tanggung jawab bersama dari seluruh golongan bersama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa untuk secara terus menerus dan bersama-sama meletakkan landasan spiritual, moral dan etik yang kukuh bagi pembangunan nasional sebagai pengamalan pancasila. Pengamalan sila kemanusiaan yang adil dan beradab yang antara lain mencakup peningkatan martabat serta hak dan kewajiban asasi warga negara serta penghapusan penjajahan, kesengsaraan, dan ketidakadilan dari muka bumi. Pengamalan sila persatuan indonesia, yang antara lain mencangkup pembinaan bangsa disemua bidang kehidupan manusia, masyarakat, bangsa, dan negara, sehingga rasa kesetiakawanan semakin kuat dalam rangka memperkukuh persatuan dan kesatuan bangsa. Pengamalan sila kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan,
yang antara lain mencakup upaya makin menumbuhkan dan mengembangkan sistem politik demokrasi pancasila yang makin mampu memelihara stabilitas nasional yang dinamis, menegembangkan kesadaran dan tanggung jawab politik warga negara, serta menggairahkan rakyat dalam proses politik. Pengamalan sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia, yang antara lain mencakup upaya untuk mengembangkan pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi yang dikaitkan dengan pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya menuju terciptanya kemakmuran yang berkadilan bagi seluruh rakyat indonesia dalam sistem ekonomi yang disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.
Untuk dapat mewujudkan dan mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila tersebut tentu sangat dibutuhkan sosok figur seorang pemimpin yang berani mengakhiri keboborokan yang terjadi dalam tubuh bangsa indonesia saat ini. Pemimpin yang berjiwa nasionalime Pancasila, bukan pemimpin yang bermodal dan berjiwa liberal kapitalis dan sosial komunis. Rakyat indonesia harus pandai-pandai memilah dan memilih sosok pemimpin baru di tahun 2019. Nilailah rekam jejaknya dan hasil kerjanya. Pemimpin yang menghargai proses, pemimpin yang tidak pernah menyakiti rakyat di masa lalunya, pemimpin yang mencintai dan dicintai oleh rakyatnya. Pemimpin yang dekat dengan semua elemen bangsanya, pemimpin yang takut kepada tuhannya, pemimpin yang bijaksana tanpa membedakan suku, ras, dan agama. Pemimpin yang manyutakan bangsa indonesia dengan ideologi pancasila. Pemimpin yang mengajak menyatukan hati untuk indonesia yang kita cintai. Dengan bermodalkan pemahaman tentang demokrasi Pancasila disertai keikhlasan rakyat dalam memilih, akan lahir sosok pemimpin yang dengan niat ikhlas akan menegakkan keadilan dan kebenaran serta memberikan kesejahteraan bagi seluruh rakyat indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.