REFLEKSI KEMERDEKAAN
Oleh : Agil Nanggala(Mahasiswa Departemen Pendidikan Kewarganegaraan FPIPS UPI) |
Menjadi kisah yang unik, Indonesia merdeka merupakan anugerah Tuhan yang Maha Esa, buah hasil perjuangan pahlawan bangsa tentunya, menarik menurut tetua terdahulu pejuang bangsa merebut kemerdekaan ditangan penjajah hanya menggunakan bambu runcing. Logisnya bambu runcing tidak akan memang melawan serdadu penjajah, yang dibekali oleh senapan bahkan senjata tajam, tapi berkat rahmat Allah yang Maha Kuasa, kemerdekaanpun dapat diwujudkan, inilah kelebihan bangsa yang kental keagamaannya, sehingga melahirkan negara Indonesia yang bercorak Nasionalis dan Religius.
BACA JUGA : Idealime Mahasiswa Sebagai Paradigma Perggerakan
Bagai surga, Indonesia ditakdirkan bertempat di tengah garis khatulistiwa, membuat iklim tropis identik dengan Indonesia, letaknya yang di antara Benua Australia dan Asia, serta di antara Samudra Hindia dan Samudra Pasifik (Blog.ruangguru.com, 2017) melahirkan beragamnya faura dan fauna yang menghiasi bumi Indonesia. Lalu memiliki 1340 suku bangsa (netralnews.com, 2017), jumlah fantastis dalam suatu negara, ini harus dipandang sebagai anugerah, jika tidak akan menimbulkan perpecahan, bahkan konflik horizontal.
Indonesia adalah tempat bagi masyarakatnya untuk berdinamika, tumbuh dan berkembang, bahkan juga akhir menutup mata, karena itu adalah cita-cita pendiri bangsa, yang menginginkan negara merdeka, sejahtera, serta berwibawa. Akibat luasnya pengelolaan negara ini harus dibantu oleh pemerintah Provinsi, serta kabupaten dan kota, jika hanya pusat, terkesan lama dan tidak merata, maka wajib hukumnya kita memiliki pemimpin negara dan daerah, yang inovatif, serta berorientasi pada kepentingan umum.
BACA JUGA : ESENSI PILKADA LANGSUNG
Berbicara Indonesia tidak lengkap rasanya, jika tidak membicarakan keberagamanya, bak komoditas, keberagaman dieksplorasi bahkan cenderung dieksploitasi, demi menanamkan dogma pada publik. Negeri ini perlu merangkul semua golongan, bukan hanya mengotak-ngotakan, perang identitaspun tidak dapat terelakan, negeri ini harus bebas dari konflik yang tidak produktif.
Ironi Demokrasi
Sebagai negara yang berdaulat, tentu Indonesia berhak mengadakan pesta demokrasi sebagai ajang menentukan arah pembangunan bangsa ke depan, tak jarang pesta demokrasi tersebut direduksi seolah melambangkan kepentingan rakyat. Politisi melancarkan maksud atau pesan politisnya, karena bukan politisi jika tidak memiliki tujuan atau orientasi politis, seperti pengaruh atau kekuasaan, lengkap sudah apabila politisi berkuasa, kehidupan politiknya akan paripurna, jika tidak, maka akan ada hasrat politik yang tidak bisa terlampiaskan.
Kadang kala strategi politik yang dirancang politisi menghilangkan nalar publik, memberikan narasi kemenangan, perubahan bahkan kesejahteraan, karena siapa yang mampu memikat hati publik akan memperbesar peluang kemenangan. Akibat strategi politik yang kurang beradab, negeri ini dibuat konflik yang tidak produktif, polarisasi politik yang kuat dimasyarakat, melambatkan upaya rekonsiliasi seusai pesta demokrasi, ironi, alih-alih mewujudkan negara persatuan, politisi selalu memberikan pesan perpecahan.
BACA JUGA : SEJARAH LAHIRNYA PANCASILA
Seolah lupa negara ini beragam suku bangsa, menjunjung tinggi nilai agama, namun kini hanya dijadikan sebagai komoditas dalam upaya mendulang dukungan politik semata, nilai esensial agama yang hilang, fitrah sucinya tidak diindahkan, pada akhirnya hanya menimbulkan kerugian. Jenuh negeri ini, karena terbelenggu konflik identitas, menghambat upaya mewujudkan kesejahteraan umum, kesenjangan sosial semakin melebar, dan konflikpun tidak bisa terelakan, seperti lingkaran setan, tidak ada habisnya, hanya menghasilkan bangsa yang putus asa.
Narasi yang dihasilkan terlalu banyak, meme bagi masyarakatpun meningkat pesat, pesta demokrasi memiliki nilai esensial, sebagai media pendidikan politik masyarakat, bertujuan melahirkan masyarakat Indonesia yang baik, mengetahui, bahkan mengimplementasikan hak dan kewajibannya dalam kehidupan sehari-hari. Tujuan inilah yang harus diperhatikan, bukan mempertontonkan kemunafikan, moralitas publikpun terhinakan, sampai kapan, negeri ini dibalut oleh konflik politik yang tidak mendewasakan, layaknya lapak, Indonesia telah menjadi tempat untuk berebut kuasa.
Mungkin lupa makna negara Bhinneka, atau mungkin lupa pesan pendiri bangsa dulu kala, yang jelas perilaku kita hanya membuat mereka cemas, akan dibawa kemana Indonesia. Identitas yang kuat adalah cara bangsa untuk bertahan di tengah pergolakan politik internal negara, jika identitas digunakan sebagai media kepentingan, tentu merupakan sebuah kemunduran, panceklik negarawan tidak bisa dihindarkan.
Refleksi
Kemerdekaan merupakan sebuah anugerah, yang harus diisi dengan segala kebaikan, bukan hanya berbicara mengenai perayaan semata, setiap hari masyarakat Indonesia harus hidup merdeka, mulai dari kebebasan sampai dengan kesejahteraan. Inilah prinsip sejati negara demokrasi, yang membiarkan warga negaranya tumbuh berkembang sesuai yang diinginkan, bukan bebas sebebas-bebasnya, tetapi bebas yang bertanggung jawab.
Indonesia merdeka, berwibawa, dan mampu membawa perubahan pada dunia, prinsip ini yang harus selalu diingat kita semua, termasuk politisi, jangan lupa nilai perjuangan. Idealitas politik diperlukan, agar tidak terjebak dalam politik transaksional, yang mencederai mimpi luhur para pejuang bangsa, mahal negeri ini jika selalu dipaksa masuk dalam pusaran kebencian, karena hanya akan menimbulkan bangsa yang pesakitan.
Idealnya Indonesia harus mampu mencetak kader bangsa yang cerdas, berkarakter dan bertanggung jawab, tidak mudah terjebak dalam gelombang politik, mampu menjadi pengawas bagi penyelenggara negara dalam menjalankan tugasnya. Bangsa ini merdeka dengan usaha bersama, tanpa memperhatikan perbedaan, semangat itulah yang harus tetap dijaga, dan ditularkan kepada generasi penerus bangsa, wajar apabila menimbulkan riak, akibat konflik politik, sebagai ajang pendewasaan, namun salah apabila larut dan menjadi pesakitan.
Negeri ini minim negarawan, menjamur politisi, maka kepentingan yang dibawapun adalah kepentingan politik, tidak sedikit elit politik yang mereduksi kepentingan mereka adalah kepentingan rakyat. Politik harus menghasilkan manusia-manusia Indonesia yang peka terhadap kehidupan sosial bangsanya, sehingga mereka berjuang murni dalam upaya mempercepat terwujudnya kesejahteraan umum dalam masyarakat, bukan mereka yang berjuang demi mendapat kekuasaan, semua harus sadar jabatan mandataris hanya bersifat sementara dan berupa titipan, lalu jika disalahgunakan hanya akan menghasilkan sebuah kerugian.
Jalan Keluar
Politisi harus menyampaikan pesan-pesan kebaikan, dan optimisme mengenai pembangunan Indonesia ke depan, bukan pesan permusuhan, itu bertentangan dengan cita-cita bangsa, mungkin benar potongan puisi dari K. H. Mustofa Bisri, “Di sana banyak orang lupa, dibuai kepentingan dunia, tempat bertarung merebut kuasa, sampai entah kapan akhirnya”. Bangsa yang mulai lupa mengenai nikmatnya memperbanyak saudara. Ini realita jika politisi peka, tidak akan memperkeruh suasana.
Kader bterbaik bangsa tidak dilahirkan secara kebetulan, mereka berproses dan berkorban karena ada sesuatu yang hendak dicapainya, jika politisi berkorban demi mewujudkan Indonesia yang sejahtera dan melawan ketidakadilan, mereka akan disambut layaknya pembawa perubahan, Indonesia merindukan sosok seperti itu, yang mampu mengguncangkan dunia.
Bukan memperbanyak meme dijagad sosial media, terlepas dari apapun latar belakangnya, negeri ini jenuh jika terus dipertontonkan perang identitas, lembaga negara, partai politik dan yang lainnya harus mampu melahirkan pahlawan bangsa, kunci penting semua harus bekerja sama mewujudkan negeri Indonesia yang Baldatun Thayyibatun Wa Rabbun Ghafur, itulah negarawan sejati.