NASIONALISME DI SAMUDRA PASIFIK
Penulis : Rifyan R. Saleh Ketua Kerukunan Pelajar Mahasiswa Indoneia Pohuwato (KPMIP) periode 2017-2018 |
(Narasi Kisah Nyata TKI - Gorontalo Korban Tindak Kekerasan di Negeri Ginseng)
Indonesia sebagai
negara dengan 17.504 pulau menyimpan sumber daya alam dan sumber daya manusia
yang melimpah. Kekuatan ini tidak mampu mengubah Indonesia menjadi negara maju
dan justru semakin terpuruk dalam berbagai aspek karena ketidak mampuan kita
mengelolah sumber daya yang ada.
Ekonomi, sosial,
budaya, politik dan hukum kita berusaha mengasumsi dari negara-negara maju
namun tidak mampu di definisikan dengan benar sehingga menimbulkan tafsiran dan
pelaksaan yang menimbulkan ketimpangan dan penyimpangan di bangsa ini.
Keraguan terhadap
eksistensi negara dan pelaksanaan bernegara menimbulkan kekacuan berfikir dan
narasi-narasi pesimisme dari masyarakat secara umum semakin meningkat.
Nasionalime rakyat Indonesia hari ini terus terdegradasi dengan kekuatan
westernisasi di era milenial, wacana menyambut bonus demografi pun bisa jadi
hanya wacana untuk mengaktifkan imajinasi masyarakat yang terjerat permainan
dan rancangan konspirasi serta propaganda yang sulit di identifikasi.
Demokrasi yang
bertujuan untuk terlaksananya kekuatan rakyat atas segala bentuk kekuasaan
kenegaraan pun di kelola dan dimainkan untuk kepentingan kelompok-kelompok
korporasi yang bermain di balik tirai partai yang mengisi era revormasi hari
ini. Sehingga keterwakilan suara tuhan melalui rakyat oleh rakyat dan untuk
rakyat tak lagi ada di bangsa yang besar ini. Rezim boleh berganti, nahkoda
negara pun tujuh kali berganti wajah namun hanya sebagai piong dan boneka
kekuatan asing. Konstitusi pun menjadi alat pelindung kekuasaan rezim-rezim
yang duduk di bangku pemerintahan hari ini sehingga kelaparan, kemiskinan dan
kesengsaraan meningkat secara drastis dan dramatis.
Kisah heroik
"nasionalisme di samudra pasifik" ini pun berawal dari kegersangan
penghidupan di tanah subur yang di rampas kolonial modern berwajah oriental
yang bekerjasama dengan gerbong segitiga bermata satu. Perjalanan yang
diperankan oleh 14 orang anak rantau dari desa ini bukanlah kisah fiktif atau
pencitraan untuk sebuah elektabilitas demi sebuah kepentingan. Ini adalah fakta
yang penulis tulis sebagai penghargaan atas sebuah perjalan panjang
pejuang-pejuang yang melawan kemelaratan namun disengsarakan dinegeri ginseng
Korea Selatan.
Pengangguran yang
tercipta akibat penyempitan lapangan pekerjaan dan penyumbatan pengelolaan SDM
di usus besar kenegaraan menimbulkan kerisauan pemuda-pemuda di daerah sehingga
keputusan merantau demi mencari sesuap berlian di negeri orang pun menjadi opsi
yang berani di ambil.
Para alumni Sekolah
Menengah Kejuruan (SMK) 1 Popayato di seleksi untuk mengisi post-post hasil MOU
antara pihak sekokah dan agent penyedia jasa TKI ke luar negeri. Terpilih 14
orang terbaik putra alumni sekolah yang terpikat tawaran kerja dan gaji tinggi
hasil sosialisasi di sekolah sehingga ekspektasi pun menjulang berharap
perubahan status sosial secara vertikal. Perjalanan pun dimulai setelah semua
berkas disiapkan untuk melengkapi persyaratan menuju negeri mimpi penuh
harapan. Sebulan di Jakarta untuk mendapatkan pendidikan maritim dan melengkapi
berkas keluar negari pun dilakukan dengan giat, sabar dan ikhlas agar semua
selesai sesuai waktu yang di tetapkan.
Hiruk pikuk ibu kota
selama sebulan dengan persedian seadanya dijalani tanpa keluhan karena
terbungkus semangat perubahan. Semua semangat dan saling memberi semangat,
ketika ada satu orang kesulitan semua membantu dan mempermudah keadaan.
Sokongan keluarga dengan materil dan imateril selalu tercurahkan bagai air
terjun yang mengalir deras memberi semangat dan motivasi untuk bergerak.
Keberangkatan pun di
jadwalkan setelah semua di rampungkan, 14 orang pemuda ini pun bersiap
berangkat dengan 1001 mimpi yang ingin di buktikan. Dari Jakarta menuju Korea
Selatan akhirnya diberangkatkan dengan pesawat dari Bandara Soekarno - Hatta,
selama di perjalanan semua terasa indah dan menawan dengan cerita baru yang
akan segera di mulai. Namun sedikit kecurigaan timbul dibenak di beberapa
anggota 14 pemuda ini, ketika di bandara sebelum berangkat menanda tangani
kontrak kerja yang belum sempat di baca akibat di desak keberangkatan pesawat
menurut para agent akan segera lepas landas. Namun semua di abaikan karena
pengalaman pertama merantau keluar negeri dan ekspektasi tinggi di negeri
ginseng. Setibanya di Bandara Korea Selatan jemputan menuggu dan langsung
membawa para pemuda menuju kantor perusahaan.
Situasi masih
terkendali selain bahasa yang terkendala. Menjadi awak kapal di kapal ikan pun
dimulai, berlayar munuju samudra terbesar di dunia. Namun kenyataan mulai
berbeda dengan ekspektasi ketika di tengah lautan lepas kontrak kerja baru bisa
di baca yang ternyata tak sesuai pembicaraan saat sosialiasi. Gaji rendah
bahkan potongan 100% menjadi bencana yang terlanjur disepakati di atas kertas
yang telah di tanda tangani. Tidak ada solusi, komunikasi yang terputus dengan
pihak agent dan protes yang tidak di gubris memaksa sabar menjadi ikhlas.
Pekerjaan yang semakin
berat, 36 jam tanpa istrahat, makanan dan minuman yang tidak manusiawi serta
ancaman dan pemukulan menjadi rentetan peritiwa yang menghiasi di tengah
samudra. Hingga di penghujung bulan kedua setelah bekerja semua tak lagi mampu
dan konflik tidak mampu lagi di redam. Sosok superior dari jiwa-jiwa yang di
khianati bangkit melawan prajurit komunis awak kapal. Hingga 14 pemuda ini
mengancam membakar kapal dengan segala resiko yang tak lagi di pertimbangkan.
Siap mati membela harkat dan martabat bangsa akbiat putra bangsa disiksa selama
berhari-hari di atas kapal. Dengan mengibarkan BENDERA MERAH PUTIH diatas kapal
menyimbolkan perlawan dan respon atas penindasan yang di lakukan. Sampai pada
akhirnya mereka semua di pulangkan tanpa di gaji sepeser pun setelah bekerja
dua bulan di atas kapal. Hanya membawa kerusakan fisik serta trauma fisikologi
mereka kembali tanpa uang di tangan selain tiket kepulangan.
Kerugian yang sangat
banyak ini mereka ikhlaskan asalkan terlepas dari siksaan dan segera kembali ke
negeri kelahiran. Namun kesialan masih terasa ketika rombongan meninggalkan 8
orang yang transit di bandara Hongkong akibat kesalahan peletakan tanggal di
tiket pesawat oleh pihak maskapai. Kelaparan selama dua hari di bandara menjadi
cerita pilu yang menamba kisah heroik ini. KBRI yang terlambat memediasi
persoalan membuat penderitaan semakin terasa. Di hari ketiga barulah pihak KBRI
merespon keluhan mereka setelah didesak dari Indonesia, hingga akhirnya mereka
di pulangkan ke Indonesia.
Bendera yang di
kibarkan ditengah lautan pun dapat dengan bebas melambai ditanah leluhur yang
penuh kepalsuan.
Namun kecintaan
terhadap negara dan bangsa ini terlalu besar hingga mereka berani melawan dan
menyerang setelah nama bangsa di hina dan di injak-injak dengan penyiksaan
terhadap pemuda Indonesia di atas kapal.
Dari kisah ini kita
perlu menyadari bahwa banyak korban akibat kejahatan jabatan para pemangku jabatan
namun kecintaan terhadap bangsa menutupi dosa para penjilat di tanah NKRI.
Nasionalisme 14 pemuda ini tak perlu diragukan, yang perlu di ragukan adalah
pejabat korup dan penjilat kekuasaan untuk meningkatkan kekayaan pribadinya.
Salam NKRI
NKRI harga mati !!!
Penulis : Rifyan R.
Saleh Ketua Kerukunan Pelajar Mahasiswa Indoneia Pohuwato (KPMIP) periode 2017-2018