KETERTINDASAN KAUM PEREMPUAN DI "ZAMAN GENGSI"
Oleh: Ariyansah NK (Mantan Ketua DPC GMNI Balikpapan Periode 2016-2018) |
Ketertindasan kaum perempuan bukan hanya berwujud pada tindakan kekerasan yang dialami kaum perempuan itu sendiri. Melainkan dari banyak hal. Seperti perlakuan yang tak senonoh hingga candaan yang mengarah pada seksualitas dari kaum laki-laki, yang sebetulnya itu sama sekali tak diharapkan bagi kebanyakan kaum perempuan.
Sebetulnya, ada banyak perilaku dan kondisi yang memang secara tidak langsung mengarah pada penindasan seorang insan perempuan. Apalagi, di zaman yang penuh gengsi saat ini. Saya menyebutnya Zaman Gengsi. Meski ini tak seluruhnya dialami kaum perempuan, namun hal ini nyata terjadi.
Saya pernah berdiskusi dengan salah satu senior di organisasi mahasiswa. Ada banyak yang kami diskusikan soal perempuan. Hingga diskusi itu pun berujung pada suatu kesimpulan. Bahwa di era modern, di zaman yang penuh gengsi (Zaman Gengsi) ini, perjalanan seorang perempuan, entah disadari atau tidak, melewati kondisi yang sebetulnya mengalami ketertindasan. Meski tidak semua perempuan mengalaminya. Namun dari semua kaum perempuan, pasti ada yang mengalaminya.
Hasil diskusi bersama salah satu senior itu kemudian semakin benar bagi saya, ketika menjumpai beberapa wanita PSK (Pekerja Seks Komersial) di lokalisasi yang berada di kota domisili saya saat ini. Bahwa dalam diskusi itu, yang dimaksud melewati kondisi ketertindasan dimulai sesaat sebelum menikahnya seorang perempuan dengan kekasihnya, yang laki-laki. Yang laki-laki ya, bukan perempuan.
Hari ini, coba kita insyafi bersama, berapa banyak pasangan (laki-laki & perempuan) yang tertunda nikahnya. Atau ada yang lebih parah bahkan, batal menikah sama sekali. Bukan karena lunturnya rasa cinta, melainkan kurangnya modal melamar. Atau istilah ngetrennya, kandas ke pelaminan karena "Uang Panai".
Ya, tingginya uang panai terkadang mengakibatkan niat menuju pelaminan pasangan kekasih kandas. Beberapa kasus, tingginya uang panai ini lahir dari gengsi keluarga yang disepakati melalui musyawarah anggota keluarga besar perempuan. Padahal, penetapan uang panai haruslah kehendak dari perempuan itu sendiri. Tapi sekali lagi, beberapa kasus, bahkan perempuan yang bersangkutan sama sekali tidak dilibatkan atau tidak didengar kehendaknya dalam proses penetapan besaran uang panai tersebut.
Dari kondisi itu, sebetulnya perempuan yang bersangkutan mengalami ketertindasan. Dia kehilangan haknya untuk menentukan haknya, menentukan biaya pernikahan termasuk mahar pernikahan. Superioritas "Keluarga Besar" yang disusupi gengsi dalam hal ini lebih dominan. Kemudian, kondisi ketertindasan pun berlanjut setelah seorang perempuan menikah. Banyak di antara mereka yang hanya terjebak pada urusan domestik, yang kadang menjauhkan mereka dari lingkungan sosial. Ada yang memutuskan berhenti dari karir, fokus pada urusan domestik. Dalam kondisi ini, tentu segala urusan biaya hidup dibebankan pada suami (laki-laki). Singkatnya, mereka telah menggantungkan hidup pada suami mereka. Untung-untung bila sang suami benar-benar setia.
Akan menjadi persoalan baru jika sang suami tak setia, dan terjadi perselingkuhan yang dilakukan oleh sang suami. Terkadang, banyak di antara para kaum perempuan yang hanya pasrah, tak berdaya mengetahui perselingkuhan sang suami. Hingga akhirnya menerima kembali sang suami dengan hati terpaksa. Walaupun api amarah masih menguap-nguap di hatinya. Tidak masalah akan hal ini, yang jadi persoalan jika keputusan menerima kembali sang suami karena pertimbangan ekonomi alias biaya hidup. Takut melepaskan sang suami karena perempuan yang bersangkutan menggantungkan hidupnya kepada sang suami tersebut. Di sinilah kembali kondisi ketertindasan kaum perempuan terjadi. Tak berdaulat atas dirinya sendiri. Pun tak berdaulat secara ekonomi. Terpaksa menerima sang suami karena takut akan biaya dan beban hidup yang begitu besar.
Sampai di sini, kondisi ketertindasan kaum perempuan belum selesai. Dari beberapa pasangan suami istri, ada juga yang memilih bercerai. Banyak faktor alasannya, mulai dari sudah tidak adanya kecocokan lagi sampai adanya kasus perselingkuhan. Ketika bercerai, maka beban hidup pun ditanggung sendiri. Pada kondisi ini, ketidakmampuan perempuan dalam menopang beban hidup tersebut memaksa mereka mengambil jalan pintas. Menjual diri. Untuk menanggung biaya kehidupan. Bermula dari perceraian, pilihan menjual diri untuk memenuhi kebutuhan hidup merupakan bagian dari kondisi ketertindasan kaum perempuan itu sendiri.
Sekali lagi, tidak semua kaum perempuan mengalami proses tersebut di atas. Tapi, beberapa di antaranya ada. Contoh, keterpaksaan memilih jalan untuk menjual diri guna mencukupi kebutuhan. Ya, ini dialami oleh para wanita PSK yang saya temui dan saya sebutkan di atas tadi. Alasan mereka menjual diri adalah tuntutan hidup. Di mana harus memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarga, orang tua dan anak. Termasuk biaya sekolah anak-anak mereka. Dan pilihan untuk menjadi PSK itu setelah perceraian mereka dengan sang suami terjadi.
Saya pernah berkesempatan berbicara dengan mereka, beberapa wanita PSK itu. Dalam menjalankan pekerjaannya, kata mereka, tak ada rasa seksual yang mereka rasakan seperti ketika berhubungan intim pada umumnya. Begitu pengakuan mereka. Yang ada di pikiran mereka hanyalah terus melawan tuntutan hidup. Selesai bermain dengan “Si Hidung Belang”, lalu dapat uang. Hubungan pun selesai sampai di situ. Bahkan kebanyakan dari mereka para wanita PSK itu, merasa risih jika ada lelaki hidung belang yang mencoba melakukan hubungan lebih jauh. Intinya, dalam hal ini mereka hanyalah mengejar biaya hidup, memenuhi tuntutan hidup yang begitu besar di Zaman Gengsi ini.
Inilah kondisi kaum perempuan hari ini. Meski tidak semua mengalami proses ini, namun beberapa mengalaminya. Dan saya kira, penjabaran sedikit diskusi-diskusi saya dengan salah satu senior di atas hanyalah sekelumit dari banyaknya persoalan perempuan hari ini.