PEMBODOHAN DEMOKRASI DALAM KAMPUS TANDA LEMAHNYA ETIKA POLITIK
Kampus adalah suatu wadah yang mencerdaskan kehidupan anak-anak bangsa sehingga peran dan fungsi keberadaan kampus sangat menunjang terhadap perjalanan dan perkembangan bangsa kedepannya. Karena kampus sebagai wadah mencerdaskan kehidupan bangsa maka, kampus dituntut harus memiliki strategi yang efektif dan efisien untuk menggapainya.
Namun yang paling menarik untuk diulas ialah demokrasi dalam kampus. Sebab demokrasi dalam kampus mengandung misteri yang begitu besar untuk diungkapkan, karena begitu banyak ketimpangan demokrasi yang sering terjadi disetiap tahun dan hal ini terus terjadi. Kampus ibarat miniatur negara kecil sebab didalamnya terdapat kecocokan pemerintahan layaknya seperti sebuah negara. Ada beberapa perangkat negara juga ada didalam kampus. Seperti presiden, mentri, dan KPU.
Masyarakat meyakini mahasiswa sebagai generasi harapan bangsa, untuk melanjutkan tongkat estafet pembangunan selanjutnya. Dengan bekal pendidikan yang mereka terima selama dibangku perkuliahan akan menjadi modal utama dalam membangun bangsa selanjutnya. Sangat besar harapan masyarakat agar mahasiswa bisa menjadi penerus bangsa yang lebih baik, yang bisa merestorasi bangsa yang sedang sakit parah. Namun kenyataannya berbeda dengan fenomena yang sedang terjadi saat ini, kampus yang seharusnya menjadi wadah mencerdaskan generasi bangsa justru berubah haluan menjadi ladang politik praktis, neoliberal, dan perpanjangan tangan das kapital.
Sehingga menghasilkan mahasiswa yang tidak berkompoten. Lalu kepada siapa lagi rakyat berharap?
Demokrasi kampus ialah misteri yang lumrah namun sangat sulit untuk diungkapkan. Karena banyak tantangan dan rintangan dahsyat untuk dilewati hingga kita bisa mengungkpnya. Demokrasi dalam kampus hanya berjalan scara prosedural dan cacat secara substansial, sebab prosedur demokrasi kampus dilaksanakn layaknya pemilihan umum dalam sebuah negara tapi, kebebasan untuk memilih itu hilang. Hal itu terjadi karena masih ada campur tangan dan intervensi birokrat kampus dalam menentukan pilihan. Sehingga substansi dari bebas, jujur, adil, dan rahasia telah hilang nilainya. Salah seorang teman saya pernah mengalami masalah yang serupa, dia mendapat ancaman nilai eror dari dosen jika tidak memilih sesuai yang diperintahkan oleh dosen tersebut.
"Memang intervensi dari pihak birokrat itu ada dan betul-betul terjadi di lingkungan Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Gorontalo. Kami dihimbau agar memilih sesuai yang diperintahkan kepada kami, ketika kami melakukan komplein maka akan diancam dengan mendapat nilai eror. Sehingga kami tidak bisa berbuat apa-apa selain mrngikuti himbauan tersebut meskipun sangat bertentangan dengan hati nurani kami" jelasnya kepada saya.
Padahal aturan mengenai pemberian nilai kepada mahasiswa, sudah sangat jelas pada "UU RI No. 14 tahun 2005 tentangg Guru dan Dosen Pasal 51 ayat (1) huruf f " menyebutkan seorang dosen "memiliki kebebasan dalam memberikan penilaian dan menentukan kelulusan peserta didik". Namun, perlu digarisbawahi bahwa penilaian dosen itu harus dilakukan secara profesional. Seorang dosen wajib bertindak objektif dan tidak diskriminatif. Dosen juga wajib menjunjung tinggi peraturan perundang-undangan, hukum, kode etik, serta nilai-nilai agama dan etika (Pasal 60 UU Guru dan Dosen). Tapi produk hukum ini seakan-akan tidak berlaku.
Namun hal ini sangat miris karena mahasiswa yang telah dirampas haknya justru diam demi persoalan nilai. Sehingga pembodohan demokrasi dalam kampus sudah melekat seperti budaya yang sanagat sulit untuk dihilangkan dan hal ini tetap terus berlanjut bahkan disetiap momen demokrasi kampus entah dari tingkatan Universitas, Fakultas bahkan sampai ketingkatan jurusan tidak pernah terlepas dari intervensi birokrat kampus.
Masyarakat meyakini mahasiswa sebagai generasi harapan bangsa, untuk melanjutkan tongkat estafet pembangunan selanjutnya. Dengan bekal pendidikan yang mereka terima selama dibangku perkuliahan akan menjadi modal utama dalam membangun bangsa selanjutnya. Sangat besar harapan masyarakat agar mahasiswa bisa menjadi penerus bangsa yang lebih baik, yang bisa merestorasi bangsa yang sedang sakit parah. Namun kenyataannya berbeda dengan fenomena yang sedang terjadi saat ini, kampus yang seharusnya menjadi wadah mencerdaskan generasi bangsa justru berubah haluan menjadi ladang politik praktis, neoliberal, dan perpanjangan tangan das kapital.
Sehingga menghasilkan mahasiswa yang tidak berkompoten. Lalu kepada siapa lagi rakyat berharap?
Demokrasi kampus ialah misteri yang lumrah namun sangat sulit untuk diungkapkan. Karena banyak tantangan dan rintangan dahsyat untuk dilewati hingga kita bisa mengungkpnya. Demokrasi dalam kampus hanya berjalan scara prosedural dan cacat secara substansial, sebab prosedur demokrasi kampus dilaksanakn layaknya pemilihan umum dalam sebuah negara tapi, kebebasan untuk memilih itu hilang. Hal itu terjadi karena masih ada campur tangan dan intervensi birokrat kampus dalam menentukan pilihan. Sehingga substansi dari bebas, jujur, adil, dan rahasia telah hilang nilainya. Salah seorang teman saya pernah mengalami masalah yang serupa, dia mendapat ancaman nilai eror dari dosen jika tidak memilih sesuai yang diperintahkan oleh dosen tersebut.
"Memang intervensi dari pihak birokrat itu ada dan betul-betul terjadi di lingkungan Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Gorontalo. Kami dihimbau agar memilih sesuai yang diperintahkan kepada kami, ketika kami melakukan komplein maka akan diancam dengan mendapat nilai eror. Sehingga kami tidak bisa berbuat apa-apa selain mrngikuti himbauan tersebut meskipun sangat bertentangan dengan hati nurani kami" jelasnya kepada saya.
Padahal aturan mengenai pemberian nilai kepada mahasiswa, sudah sangat jelas pada "UU RI No. 14 tahun 2005 tentangg Guru dan Dosen Pasal 51 ayat (1) huruf f " menyebutkan seorang dosen "memiliki kebebasan dalam memberikan penilaian dan menentukan kelulusan peserta didik". Namun, perlu digarisbawahi bahwa penilaian dosen itu harus dilakukan secara profesional. Seorang dosen wajib bertindak objektif dan tidak diskriminatif. Dosen juga wajib menjunjung tinggi peraturan perundang-undangan, hukum, kode etik, serta nilai-nilai agama dan etika (Pasal 60 UU Guru dan Dosen). Tapi produk hukum ini seakan-akan tidak berlaku.
Namun hal ini sangat miris karena mahasiswa yang telah dirampas haknya justru diam demi persoalan nilai. Sehingga pembodohan demokrasi dalam kampus sudah melekat seperti budaya yang sanagat sulit untuk dihilangkan dan hal ini tetap terus berlanjut bahkan disetiap momen demokrasi kampus entah dari tingkatan Universitas, Fakultas bahkan sampai ketingkatan jurusan tidak pernah terlepas dari intervensi birokrat kampus.
Bahkan momen demokrasi kampus diwarnai dengan penganiyayan seperti yang terjadi di Fakultas Hukum dalam pemilihan Presiden Bem dan Wakil Presiden Bem tahun 2017 yang lalu. Itulah deretan sejarah demokrasi kampus yang sangat memalukan. Miris ketika melihat birokrat kampus yang hingga hari ini masih menyalahgunakan kekuasaannya demi memuluskan niat busuknya.
Mahasiswa yang dikenal sebagai agen of analisys, agen of control, dan agen of change justru tidak terlihat perannya, tidak layak seorang mahasiswa hanya diam, tunduk, dan patuh terhadap pembodohan masal ini. Kapankah semua ini akan berhenti?
Mahasiswa yang dikenal sebagai agen of analisys, agen of control, dan agen of change justru tidak terlihat perannya, tidak layak seorang mahasiswa hanya diam, tunduk, dan patuh terhadap pembodohan masal ini. Kapankah semua ini akan berhenti?