GMNI Tegaskan Tak Dorong Siapapun Jadi Stafsus Presiden
Bendera GMNI
Jakarta - Dewan Pimpinan Pusat Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (DPP GMNI) menegaskan tak mendorong siapapun untuk mengisi jabatan Staf Khusus (Stafsus) Presiden yang kosong, alias yang ditinggalkan stafsus-stafsus yang mengundurkan diri sebelumnya.
Ini disampaikan melalui Ketua DPP Bidang Kajian Perundang-undangan dan Advokasi Kebijakan Riski Ananda Pablo, usai diskusi online via Zoom garapan DPP GMNI, bertemakan "Skandal Stafsus Millenial: Korupsi di Tengah Pendemi?", Minggu (26/4/2020) sore.
Pablo menegaskan, diskusi yang diselenggarakan itu juga bukanlah wadah atau ajang penggiringan opini untuk memunculkan nama, untuk didorong mengisi jabatan stafsus yang kosong.
"Jadi diskusi ini sama sekali tidak membahas siapa pengganti stafsus yang mundur, tapi kita ingin mengevaluasi secara menyeluruh kinerja para stafsus presiden. Diskusi tadi tidak ada menyebut nama siapa yang pantas, atau mendorong nama tertentu. Tidak ada, dan memang bukan untuk itu. Diskusi tadi adalah murni diskusi, fokus pada tataran persoalan, bukan siapa nama pengganti," tegasnya.
Diskusi itu dilaksanakan DPP GMNI, bertujuan membuka wawasan serta mengupas adanya kelemahan dalam sistem hukum dalam mengantisipasi konflik kepentingan yang terjadi. Seperti dalam stafsus ini.
Diskusi tersebut menghadirkan beberapa narasumber. Di antaranya Danang Widoyoko, sekjen Transparancy International Indonesia (TII) dan Winarso SH.MH seorang legal consultan Anti Bribery Manajemen System/ISO 370001, Pelayanan Publik, Public Service Complaint Haindling dan Hukum Kontrak Bisnis.
Diskusi berlangsung kurang lebih satu jam. Dalam diskusi, narasumber bergantian menyampaikan paparannya. Lalu diikuti dengan pertanyaan-pertanyaan para peserta diskusi. Para narasumber bergantian menyampaikan pandangannya sesuai tema diskusi. Dimulai dari Danang Widoyoko.
Danang menyampaikan, dengan gaji yang cukup besar, para stafsus presiden justru dinilai tidak memiliki jobdesk yang jelas. "Tidak adanya aturan hukum yang mengatur membuat ruang untuk terjadinya konflik semakin jelas," katanya, dalam diskusi itu.
Danang juga menyayangkan stafsus presiden yang memiliki skandal lebih memilih mundur dari jabatannya, daripada jabatan di perusahaan yang mereka naungi.
Pada kesempatan yang sama, Winarso turut menyampaikan, selama ini memang tidak ada aturan yang kuat di negara ini. Untuk mengantisipasi konflik kepentingan. Bahkan kita sebagai negara tidak pernah mengatur soal korupsi yang dilakukan pihak swasta dengan swasta.
"LHKPN para stafsus presiden mesti dicek, karena mereka jelas, merupakan pejabat publik," tegasnya.
Diketahui, belakangan ini tiga orang Staf Khusus (Stafsus) Presiden menjadi sorotan publik, di tengah pandemi Covid-19 yang melanda Indonesia. Stafsus tersebut adalah Adamas Belva Syah Devara, Andi Taufan Garuda Putra, dan Billy Manbrasar.
Belva yang merupakan pendiri dan CEO Ruang Guru dinilai memiliki konflik kepentingan. Karena platformnya menjadi bagian dari pelatihan online program Kartu Prakerja. Sedangkan Andi Taufan adalah CEO PT Amartha Mikro Fintek, sebuah perusahaan financial technology (fintech).
Kontroversi Andi bermula saat ia menuliskan surat yang ditujukan kepada camat se-Indonesia. Kontroversi soal benturan kepentingan juga menyeret dua Stafsus lainnya, yaitu Billy Mambrasar dan Putri Tanjung.
Keduanya diberitakan mendatangi Kementerian Koperasi dan UKM dalam rangka program pengembangan para pebisnis muda asal Papua melalui Gerakan Papua Muda.
Merespons kegaduhan yang timbul atas tindakan yang dilakukan para stafsus millenial itu, organisasi yang secara sah dipimpin Arjuna Putra Aldino dan M. Ageng Dendy itu, mengadakan diskusi online, bertema "Skandal Stafsus Millenial: Korupsi di Tengah Pendemi?", Minggu sore.