Refleksi Hari Nelayan: Nasib Nelayan di Tengah Dampak Covid-19

REFLEKSI HARI NELAYAN
“NASIB NELAYAN DITENGAH DAMPAK COVID-19”
Oleh
DPP Bidang Pengorganisiran Massa
Ketua  : Kardoni Vernandes
Wakil Ketua : Aru Pratama MS
Sekretaris : Andi Fajaruddin L.P

Nelayan termasuk warga negara Indonesia yang berekonomi lemah, sangat kontras sekali dengan perannya sebagai pahlawan protein bangsa. Dari masa ke masa, pergulatan masyarakat nelayan melawan ketidakpastian kehidupan, khususnya bagi yang melakukan penangkapan di wilayah perairan yang sudah dalam keadaan tangkap lebih (over fishing) terus menggeliat serta maraknya illegal fishing yang mengakibatkan pendapatan nelayan menurun.

DOWNLOAD DATA LENGKAPNYA DISINI

Nelayan kecil atau nelayan tradisional mempunyai tingkat kehidupan yang tidak banyak berubah apabila dilihat dari segi sosial ekonominya. Artinya, tingkat kesejahteraan nelayan semakin merosot jika dibandingkan masa-masa tahun 1970-an. Karena tingkat sosial ekonomi dan kesejahteraan hidup yang rendah, dan nelayan merupakan lapisan sosial yang paling miskin.

Sebagai bangsa yang memiliki wilayah laut luas dan daratan yang subur, sudah semestinya Indonesia menjadi bangsa yang makmur. Menjadi tidak wajar manakala kekayaan yang sedemikian besar ternyata tidak menyejahterakan. Krisis moneter dan ekonomi pada tahun 1997 diyakini sebagai puncak gunung es atas salah kelola negeri ini. Kehancuran sebuah negeri yang kaya namun rakyatnya miskin, tanahnya subur namun sandang pangan sangat mahal.

Banyak faktor yang menyebabkan mayoritas nelayan di Indonesia masih terlilit derita kemiskinan.  Sejumlah faktor itu dapat dikelompokkan menjadi tiga: (1) faktor teknis, (2) faktor kultural, dan (3) faktor struktural. Dalam tataran praktis, nelayan miskin karena pendapatan (income)nya lebih kecil dari pada pengeluaran untuk mencukupi kebutuhan hidup keluarga dan diri nya dalam kurun waktu tertentu.  Sejauh ini pendapatan nelayan, khususnya nelayan tradisional dan nelayan ABK dari kapal ikan komersial/modern (diatas 30 GT), pada umumnya kecil (kurang dari Rp 1 juta/bulan) dan sangat fluktuatif alias tidak menentu.
Kompleksitas persoalan nelayan saat ini berdampak pada perekonomian mereka yang semakin menurun, sehingga menyebabkan kemisikinan dikalangan nelayan dan masyarakat pesisir, padahal nelayan adalah salah satu mata pencaharian utama guna untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan menafkahi anggota keluarga. Banyaknya permasalahan kemiskinan yang menimpa nelayan membuat hidup mereka pasang surut, adanya isu yang mendunia saat ini tentang virus Covid-19 yang berasal dari Wuhan, Tiongkok pada Desember 2019 yang tanpa diduga penyebaran virusnya sangat cepat.

WHO telah menetapkan wabah virus Covid-19 ini sebagai pandemic global dan beberapa negara juga telah menetapkan karantina diri atau yang disebut dengan Lock Down, dalam kasus penyebaran virus ini bukan hanya berdampak pada kesehatan melainkan beberapa isu multidimensi yang mengikut serta, seperti isu ekonomi dan sosial masyarakat.

Imbauan pemerintah mengenai kerja di rumah juga menjadi keresahan bagi sebagian masyarakat khususnya masyarakat yang meraup penghasilan dari swasta, semisalnya buruh dan nelayan yang pekerjaannya memang tidak bisa dilakukan dari rumah saja. Kebijakan kerja dirumah atau social distancing yang berdampak langsung kepada rantai perekonomian masyarakat mulai dari bawah, menengah hingga ke atas menjadi kegelisahan. Namun melihat kondisi wabah virus ini yang semakin cepat penularannya hingga pada tanggal 03 April 2020 menurut data dari laman https://www.covid19.go.id/ sebagai berikut:

dengan kondisi demikian sudah selayaknya pemerintah lebih memperhatikan kondisi kehidupan ekonomi masyarakat kecil khusunya para nelayan karena berdampak pada perekonomian yang semakin turun drastis akibat perusahaan-perusahaan besar banyak tutup sesuai anjuran pemerintah terkait social distancing.
Penerapan social distancing bukanlah perkara mudah untuk melakukan penetapannya berbagai aspek perlu di perhatikan salah satunya aspek ekonomi dan sosial, selain itu juga penetapan social distancing perlu memperhatikan terhadap masyarakat ekonomi ke bawah semisalnya nelayan, karena pemberlakuaan social distancing ini juga berdampak terhadap jalur perekenomian nelayan dan masyarakat pesisir, pemerintah harus memperhatikan Salah satu filosofi dasar pembangunan bangsa ialah mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Oleh karena itu, setiap warga negara Indonesia berhak dan wajib sesuai dengan kemampuannya ikut serta dalam pengembangan usaha untuk meningkatkan kesejahteraan, khususnya di bidang Perikanan dan Pergaraman yang terdapat pada Penjelesan Umum UU 7/2016.

Merujuk pada sumber databoks.katadata.co.id menerangkan bahwa pencapaian 5 tahun terakhir mengalami peningkatan 51, namun ketimpangan yang terjadi pada data jumlah nelayan mengalami ketidakstabilan dari tahun 2014-2018 yang dikutip dari laman https://statistik.kkp.go.id/  pada 2018 terakhir total nelayan sebanyak 1.685.018 sementara 1 tahun sebelumnya jumlah nelayan di Indonesia mencapai 2.244.610.  ketidaksatabilan angka pada data nelayan di Indonesia ini menjadi satu pertanyaan bagi beberapa kalangan yang melihat perbandingan yang cukup menarik ini.

Kesejahteraan dan ketidakstabilan angka nelayan di Indonesia ini salah satunya adalah factor kesejahteraan dan tingkat keamanan yang dirasakan para nelayan sehingga banyak nelayan yang mencari profesi lain. Persoalan kemisikinan yang mencakup kesejahteraan dan ketimpangan pendapatan bagi masyrakat pesisir khususnya yang bermata pencaharian sebagai nelayan masih menjadi fakta menyedihkan bagi pembangunan ekonomi nasional.

Secara teknis, pendapatan nelayan bergantung pada nilai jual ikan hasil tangkap dan ongkos (biaya) melaut.  Selanjutnya, nilai jual ikan hasil tangkapan ditentukan oleh ketersediaan stok ikan di laut, efisiensi teknologi penangkapan ikan, dan harga jual ikan.  Sedangkan, biaya melaut bergantung pada kuantitas dan harga dari BBM, perbekalan serta logistik yang dibutuhkan untuk melaut yang bergantung pula pada ukuran (berat) kapal dan jumlah awak kapal ikan.  Selain itu, nilai investasi kapal ikan, alat penangkapan, dan peralatan pendukungnya sudah tentu harus dimasukkan kedalam perhitungan biaya melaut.

Produksi ikan pertahunnya yang mengalami peningkatan terhitung mulai tahun 2014 hingga 2018 akhir mencapai 6.696.336,11 tentunya ini bukanlah angka yang terbilang kecil bagi para nelayan bila mengetahui jumlah pendapatannya yang sangat signifikan dengan data yang didapat sehingga sudah selayaknya pula pemerintah dapat memperhatikan lebih kesejahteraan bagi para nelayan, hal ini yang berkaitan dengan sector sosial, pendidikan, kesehatan dan tingkat keamanan kelautan agar semakin meringankan kerja nelayan dalam membantu peningkatan perekonomian nasional.

Tanggal 06 April merupakan Hari Nelayan Nasional, bukan semata-mata melakukan kegiatan-kegiatan seremonial atau ucapan selamat belaka melainkan pemerintah dapat memberikan kabar gembira bagi nelayan terkait kebijakan-kebijakan jangka panjang pasca wabah virus covid-19 ini atau kebijakan sementara untuk masyarakat pesisir dan nelayan dalam mempertahankan perekonomiannya sehari-hari. Adanya UU No.7 Tahun 2016 sudah seharusnya pemerintah wajib mengalokasikan dana sosial atau dana perlindungan khusus kepada para nelayan yang pendapatannya mengalami penurunan secara drastis akibat wabah virus ini.

Selain dari wabah virus covid-19 ada beberapa hal yang menjadi pusat perhatian kita bersama mengenai kesejahteraan nelayan baik itu berupa tingkat pengamanan, Best Handling Practices, atau pun penanganan terhadap industry rumah bagi nelayan bilamana musim paceklik tiba.

Hampir semua nelayan tradisional mendaratkan ikan hasil tangkapannya di pemukiman nelayan, tempat pendaratan ikan (TPI), atau pelabuhan perikanan pantai (PPP) yang tidak dilengkapi dengan pabrik es atau cold storage dan tidak memenuhi persyaratan standar sanitasi dan higienis.  Sehingga, semakin memperburuk mutu ikan yang berimplikasi terhadap harga jual ikan. 

Hampir semua nelayan tradisional tidak bisa mendaratkan ikannya di pelabuhan perikanan samudera (PPS) atau pelabuhan perikanan nusantara (PPN) yang pada umumnya sudah memenuhi persyaratan sanitasi dan higienis, karena mereka harus membayar biaya tambat-labuh yang mahal (tidak terjangkau).
Kurangnya pengetahuan mengenai pemanfaatan pendapatan untuk pengembangan usaha. Sistim bagi hasil antara pemilik kapal ikan, nahkoda kapal, fishing master, dan ABK ditenggarai jauh lebih menguntungkan pemilik kapal dan yang paling dirugikan adalah ABK.  Karena itu, pada umumnya pemilik kapal modern (diatas 30 GT) beserta nahkoda kapal dan fishing master sudah sejahtera, bahkan kaya.  Sementara, ABK nya masih banyak yang miskin.

Seiring dengan terus meningkatknya harga-harga kebutuhan pokok (pangan, sandang, perumahan, kesehatan, pendidikan, dan transportasi), maka pengeluaran nelayan pun terus membesar dari tahun ke tahun.

Kurangnya pengetahuan mengenai pengelolaan hasil laut dengan menerapkan kreatifitas Industri Rumah menyebabkan pada musim paceklik dan kondisi laut sedang berombak besar atau angin kencang (badai), antara 2 sampai 4 bulan dalam setahun, nelayan tidak bisa melaut untuk menangkap ikan.

Bagi nelayan dan anggota keluarganya yang tidak memiliki usaha lain, saat-saat paceklik seperti ini praktis tidak ada income, sehingga mereka terpaksa pinjam uang dari para rentenir yang biasanya mematok bunga yang luar biasa tinggi, rata-rata 5 persen per bulan.  Di sinilah, awal nelayan mulai terjebak dalam ‘lingkaran setan kemiskinan’, karena pendapatan yang ia peroleh di musim banyak ikan, selain untuk memenuhi kebutuhan keluarga sehari-hari juga dikeluarkan untuk bayar utang sekaligus bunganya.

Nelayan pada umumnya segan, tidak mau, atau bahkan kurangnya keahlian untuk bekerja di sektor ekonomi lainnya, seperti budidaya tambak, pertanian pangan, hortikultura, peternakan, dan menjadi karyawan/buruh.  Masih banyak nelayan mengalami kurangnya pengetahuan terhadap inovasi teknologi baru yang berkaitan dengan teknologi penangkapan, pengelolaan lingkungan hidup, maupun manajemen keuangan keluarga.  Semua ini membuat banyak keluarga nelayan yang pola hidupnya ibarat “lebih besar pasak dari pada tiang”. Di era serba memanfaatkan media teknologi dan digital ini bahkan hanya berapa persen saja para nelayan yang mampu menggunakannya, sosialiasi dan program pelatihan hendaknya menjadi prioritas  utama dalam meningkatkan kesejahteraan bagi para nelayan.

Di Indonesia, sejauh ini telah banyak perusahan-perusahaan Unicorn besar yang menggunakan jasa internet untuk peningkatan ekonomi nasional. Sehubungan dengan tingkat perekonomian ini hendaknya pemerintah dapat pula melirik unicorn sehingga status start up  e-commerce dapat menyentuh pihak nelayan yang kemudian bukan saja hanya menjadi UMKM melainkan dapat masuk hingga Market Place.

Beberapa daerah yang telah diterapkan oleh pemerintah dengan melalui program UMKM Go-Online tampaknya juga belum melakukan pemerataan hingga ke daerah-daerah terpencil. Hal ini seperti yang terlihat pada data yang dimuat pada laman https://aptika.kominfo.go.id/

Kenyataannya untuk melakukan hal tersebut haruslah dapat melihat sisi lain kondisi nelayan juga masih kurang pengetahuan mengenai pemanfaatan pendapatan untuk pengembangan usaha, sehingga tingkat pendidikan dan pengetahuan yang umumnya rendah diyakini menjadi penyebab utama mengapa banyak keluarga nelayan memiliki budaya yang berlawanan dengan etos kemajuan dan kesejahteraan.

Sementara itu bila dilihat dari data statistic di laman https://web.kominfo.go.id/  terkait laporan tahunan 2019 mengenai UMKM Go-Online mengalami peningkatan terhitung pada tahun 2018 hingga 2019.

Faktor lain yang menjadi penyebab dominan terhadap angka kemiskinan nelayan adalah yang bersifat struktural, yakni kebijakan dan program pemerintah yang tidak kondusif bagi kemajuan dan kesejahteraan nelayan.  Mahal dan susah didapatkannya BBM, karena juga masih ada pemanfaatan solar oleh pihak yang seharusnya tidak berhak. Nelayan masih sulit mendapatkan bantuan kapal, lalu belum semua nelayan mendapatkan asuransi jiwa yang diberikan oleh KKP, hingga tingginya biaya solar.

Kurangnya alat operasional seperti alat tangkap, beras, dan perbekalan melaut lainnya bagi nelayan, terutama nelayan di luar Jawa, wilayah perbatasan, dan pulau-pulau kecil terpencil, merupakan bukti nyata dari minimnya kepedulian pemerintah kepada nelayan. Padahal bila dilihat kembali Indonesia merupakan negara yang memiliki luas laut 70% dari total wilayah, bahkan Indonesia ingin mewujudkan negara sebagai poros maritim dunia

Demikian juga halnya dengan sumber modal.  Sampai saat ini nelayan, terutama yang tradisional, masih sangat sulit atau tidak bisa mendapatkan pinjaman kredit dari perbankan.  Bayangkan, kapal ikan yang terbuat dari kayu, sebesar apapun, belum bisa dijadikan sebagai agunan.  Prasarana pendaratan ikan atau pelabuhan yang memenuhi persyaratan santitasi dan higienis yang dilengkapi dengan industri hilir (pengolahan hasil perikanan) juga masih terbatas bagi nelayan. 

Harga jual ikan yang sangat fluktuatif (tak menentu) juga belum secara tuntas diatasi oleh pemerintah. Alih-alih ikan impor membanjiri pasar domestik kita dalam tiga tahun terakhir. Merujuk, pada tahun 2017 per-provinsi mengalami peningkatan.
Tabel I.2. Volume dan Nilai Produksi Perikanan Tangkap Menurut Provinsi Tahun 2017


Sumber: Satu Data Kelautan dan Perikanan, 2018

Hal lain yang berkaitan dengan penurunan nelayan pada tahun 2018 adalah Faktor Ilegal Fishing yang masih terus menghantui para nelayan. Kegiatan pencurian ikan (illegal, unregulated and unreported fishing) oleh nelayan asing yang kian marak juga tidak diberantas secara sungguh-sungguh.  Akhir-akhir ini banyak pengusaha nasional yang ‘nakal’ menggunakan kapal ikan asing yang benderanya sudah diubah menjadi bendera Indonesia beroperasi menangkap ikan di Indonesia. 

Padahal, kapal-kapal eks asing itu sejatinya masih milik pengusaha asing, seperti Thailand, Taiwan dan RRC.  Ikan hasil tangkapnya hanya sebagian kecil didaratakan di pelabuhan perikanan Indonesia, hanya untuk mengelabuhi (kamulflase) aparat pemerintah dan rakyat Indonesia.  Sedangkan, porsi besar ikannya dibawa ke negara masing-masing dan diproses di sana. 

Selain rugi ikan, Indonesia pun dirugikan melalui BBM bersubsidi yang sejatinya untuk nelayan nasional, jadi dimanfaatkan oleh nelayan asing, bahkan kasus illegal fishing yang sempat terjadi beberapa waktu lalu di kawasan Perairan Natuna, menjadi isu nasional terkait masuknya kapal asing yang mengambil potensi sumber daya perikanan. Demikian pula, dengan masalah pencemaran laut dan perusakan eksistem pesisir yang menjadi tempat pemijahan dan asuhan ikan serta biota laut lainnya malah semakin hari semakin parah. 

Strategi mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim global juga belum disiapakan dengan baik dan, banyak kendala struktural lainnya yang hingga kini belum diatasi oleh pemerintah.

Beranjak dari anatomi permasalahan kemiskinan nelayan di atas, maka kebijakan, strategi, dan program untuk memerangi kemiskinan nelayan dan sekaligus mensejahterahkannya haruslah bersifat komprehensif, terpadu, dan sistemik serta dikerjakan secara berkesinambungan. Upaya membagi-bagi kapal ikan kepada nelayan, tanpa mempersiapkan kapasitas mereka, dan tanpa memperhatikan keseimbangan antara ketersediaan stok ikan dan upaya tangkap mengakibatkan banyak kapal bantuan itu tidak bisa dimanfaatkan oleh nelayan secara optimal. 

Bahkan kapal yang diberikan kepada nelayan dijual kembali untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Untuk itu Pemerintah harus tetap memantau dan mengawasi bantuan kapal yang diberikan dengan meningkatkan mempersiapkan kapasitas mereka, dan memperhatikan keseimbangan antara ketersediaan stok ikan dan upaya tangkap.
Dalam penerapan UU No.7 Tahun 2016 hal-hal diatas perlu menjadi perhatian lebih bagi pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan umum baik dari aspek pengamanan, pengelolaan Sumber Daya Perikanan, dan keperluan mendasar bagi nelayan yang merupakan bagian dari jangka panjang.

Dengan Populasi Sumber Daya Perikanan yang dapat menjadi penunjang bagi peningkatan ekonomi masyarakat Indonesia patutlah sekiranya diperhatikan, semisalnya potensi di laut Natuna bagian Utara yang masuk ke dalam Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia sebagai wilayah yang kaya akan ikan, hal ini tentu menjadi bagian untuk kita bersama menjaga potensi kelautan yang ada di Indonesia yang sebagian besar mayoritas pekerjanya adalah Nelayan dan Petani.

Melihat kondisi geografis, Indonesia merupakan Negara Kepulauan terbesar di dunia, Indonesia memiliki 17.499 pulau dari Sabang hingga Merauke. Luas total wilayah Indonesia adalah 7,81 juta km2 yang terdiri dari 2,01 juta km2 daratan, 3,25 juta km2 lautan, dan 2,55 juta km2 Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE). Merupakan suatu Negara dengan luas perairan lebih besar dari pada luas daratan, maka dari itu Indonesia disebut sebagai Negara Maritim.

Keindahan bahari dan hasil laut yang dimiliki Indonesia tentu memiliki kualitas terbaik. Mulai pulau yang cantik akan isi lautnya seperti terumbu karang dan tumbuhan laut. Luas terumbu karang di Indonesia mencapai 50.875 kilometer persegi yang menyumbang 18% luas total terumbu karang dunia dan 65% luas total di coral triangle. Sebagian besar terumbu karang ini berlokasi di bagian timur Indonesia.

Dengan luasanya wilayah kelautan di Negara Indonesia dapat membuktikan bahwa Indonesia memiliki kemewahan yang sangat luar biasa dari sector kelautan. Hal ini tentu menjadi pemicu bagi negara asing atau orang yang tidak bertanggung jawab untuk melakukan pencurian ikan secara illegal. Tentu kita berharap dengan luasnya wilayah lautan yang dimiliki Indonesia dapat menjadi Poros Maritim Dunia. Namun, tidak sebegitu mudahnya bagi Indonesia untuk menjadi poros maritime dunia, beberapa hal yang patut diperhatikan semisalnya, pengamanan, pengelolaan ekonomi yang memadai bagi nelayan dan kesejahteraan nelayan juga patut diperhatikan, sebabnya berkaitan dengan laut tentu juga melibatkan partisipasi dari nelayan.
Peringatan Hari Nelayan yang jatuh pada 06 April ini merupakan momentum yang sangat berarti bagi para nelayan. Selain sebagai profesi harian, nelayan juga telah membantu menjaga dan mengelola sumber daya perikanan yang ada di Indonesia.

Pada Maret 2020, NTN turun sebesar 0,26 persen. Hal ini terjadi karena It turun sebesar 0,18 persen, sementara Ib naik sebesar 0,08 persen. Penurunan It disebabkan oleh turunnya It pada kelompok penangkapan laut (khususnya komoditas ikan kembung dan ikan ketamba) sebesar 0,17 persen. Sementara itu, It kelompok penangkapan perairan umum (khususnya komoditas ikan baong dan ikan nila) mengalami kenaikan sebesar 0,05 persen. Ib mengalami kenaikan sebesar 0,08 persen dikarenakan naiknya indeks kelompok KRT dan kelompok BPPBM, masing-masing sebesar 0,13 persen dan 0,04 persen.

Sebagian besar nelayan tidaklah menempuh pendidikan formal seperti layaknya para pemangku negeri ini, persoalannya adalah karena keterbatasan ekonomi yang tidak memadai bagi mereka, bahkan sebagian besar para nelayan ini masih bermukim di pesisir pantai dengan kondisi lingkungan yang kurang layak, sesungguhnya nelayan ini pun ingin mendiami pemukiman yang layak, namun apa daya dengan penghasilan pas-pasan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari para nelayan ini harus bertarung bersama ombak dan ragam gangguan cuaca lainnya terlebih dengan adanya wabah virus covid-19 ini justru semakin membuat perekonomian mereka menurun secara drastis.

Dari penulisan di atas dapat disimpulkan bahwa dalam menghadapi wabah virus covid-19 ini dan juga mengacu pada UU No.7 Tahun 2016 hendaklah pemerintah menyiapkan strategi khusus dalam menyikapi persoalan kesejahteraan bagi para nelayan khususnya pada nelayan tradisional yang masih menggunakan alat-alat tradisional.

Peningkatan kesejahteraan bagi para nelayan ini yang meliputi aspek ekonomi, pendidikan, kesehatan dan sosial. Selain menyikapi persoalan kesejahteraan bagi para nelayan, hendaknya dalam peringatan Hari Nelayan Nasional yang jatuh pada tanggal 06 April ini hendaknya pemerintah memberikan kabar baik bagi para nelayan di tengah-tengah wabah virus covid-19 ini dengan program sementara melalui pemenuhan kebutuhan sosial bagi masyarakat yang terkena dampak virus covid-19 dan jangka panjang untuk pemenuhan kesejahteraan dan kemananan bagi para nelayan khususnya nelayan tradisional.

DPP ARJUNA - DENDY
Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url