Ada Apa Dengan Beasiswa Kami?

Foto: Bayu Harundja 

Disaat pemerintah mengeluarkan kebijakan melalui PP No 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dalam penanganan percepatan pandemi Covid-19. Kita dihimbau untuk tetap dirumah guna mencegah virus masuk dan mengurangi penularan. Berbagai daerah sudah melakukan kebijakan PSBB terkhusus provinsi Gorontalo. Kebijakan ini sudah dilakukan pemerintah daerah sejak 4 mei dan sudah berjalan hingga sekarang, bahkan akan diperpanjang seiring banyak pertimbangan lainnya.

Kebijakan inilah yang membuat pemerintah putar otak untuk memikirkan bagaimana melayani masyarakat dalam keadaan PSBB. Seperti yang kita ketahui kebijakan PSBB saat ini menghambat perekonomian khususnya masyarakat menengah kebawah yang notabenenya adalah pedagang, petani, dan nelayan. Maka dari itu pemerintah menggunakan anggaran baik itu APBD atau anggaran lainnya untuk melayani masyarakat guna penanganan pandemi covid-19. Bahkan gubernur Gorontalo menyumbangkan gajinya untuk menangani pandemi covid-19, keputusan gubernur Gorontalo ini mendapatkan aura positif bagi masyarakat serta menjadi contoh yang baik untuk kepala daerah lainnya.

Tapi disaat pemerintah daerah sedang naik daun dengan kebijakan yang menguntungkan masyarakat. Justru salah satu kebijakan pemerintah yang membuat kecewa kalangan mahasiswa, khususnya mahasiswa penerima beasiswa daerah. Pemerintah menggunakan anggaran beasiswa daerah untuk menangani pandemi covid-19. Hal ini yang menjadi trending topic di media sosial seperti Portal Gorontalo. Mahasiswa Gorontalo dengan serentak memposting dan menuliskan tagar #KamiKecewaDenganGubernurGorontalo. Sontak postingan mahasiswa ini menjadi pembicaraan hangat dan bahkan menjadi bahan bully bagi para netizen yang menilai mahasiswa sangat egois karena tidak mendukung pemerintah untuk menangani pandemi covid-19.

Disini saya selaku penulis serta mahasiswa untuk meluruskan melalui tulisan ini, alasan kenapa kami mahasiswa mengkritik pemerintah daerah yang memangkas anggaran beasiswa untuk penanganan covid-19. Kami mengkritik bukan tanpa sebab, kami mengkritik karena adanya ketidaktaatan pemerintah daerah pada aturan. Memang, ini untuk keselamatan dan kesejahteraan rakyat. Seperti yang kita ketahui Salus Populi Suprema Lex Esto (Keselamatan/kesejahteraan rakyat adalah hukum tertinggi). Tapi kenapa harus menggunakan anggaran beasiswa? Kenapa tidak memangkas anggaran lainnya seperti anggaran perbaikan jalan Jhon Ario Katili yang bernilai Rp.24,5 Miliar serta anggaran daerah lainnya. Mahasiswa juga masyarakat mereka butuh pelayanan, dengan beasiswa itulah meringankan mahasiswa dalam keadaan pandemi covid-19 yang menghambat perekonomian. 


Jika kita melihat dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab V Pasal 12 (1.c) yang menjelaskan “Mendapatkan biaya pendidikan bagi mereka yang orang tuanya tidak mampu membiayai pendidikannya”.  Selain itu juga, alasan kami mengkritik pemerintah tak lain pemerintah tidak menaati apa yang sudah di jelaskan pada Pedoman Umum Beasiswa Dan Bantuan Biaya Pendidikan Peningkatan Prestasi Akademik (PPA) Bagian C Poin (6) tentang penyaluran dana. Disitu menjelaskan bahwa “Dana beasiswa dan bantuan biaya pendidikan peningkatan prestasi akademik tidak boleh dipotong untuk keperluan apapun”. Sudah jelas bahwa dana beasiswa tidak boleh dipotong dalam keperluan apapun, itulah sebab kami mengkritik pemerintah daerah. Karena pemerintah tidak taat regulasi yang ada sehingganya kami menolak bungkam untuk bersuara. Dan teruntuk netizen yang budiman, yang menilai mahasiswa egois dengan keputusannya. Kami mengkritik untuk kepentingan kita bersama, kepentingan masyarakat juga. Sebab, mahasiswa juga adalah masyarakat membutuhkan dana beasiswa untuk bertahan di tengah pandemi covid-19 yang mewabah. Dan juga pemerintah harus taat regulasi, sudah jelas bahwa dana beasiswa tidak dapat dipotong untuk kepentingan apapun. Kami selaku mahasiswa tetap akan menolak karena kami sadar bahwa kebijakan itu menuai polemik. Atas nama kecewa kami tujukan kepada pemerintah daerah, bukan tanpa sebab. Bahkan pemerintah tidak merespon kritikan kami dan menilai bahwa kami mahasiswa “Narsis” atas gugatan yang kami tujukan kepada pemerintah daerah. Di akhir tulisan ini kita sadari bahwa manusia tidak lepas dari kesalahan, tapi kita mengacu pada sebuah adagium hukum “Errare humanum est, turpe in errore perseverare” yang berarti berbuat kekeliruan adalah hal manusiawi, namun tidaklah baik mempertahankan terus kekeliruan. Kami menolak bungkam!!

Penulis : 
Bayu Harundja (Mahasiswa Hukum, Universitas Negeri Gorontalo)
Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url