Alternatif Kebijakan Governability di Tengah Pandemi Covid-19
Alternatif Kebijakan Governability di Tengah Pandemi Covid-19 Oleh RAMLI MAHMUD |
Covid-19 merupakan pandemi global yang sangat mengancam tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara bagi masyarakat dunia. Fenomena politik internasional belakangan ini diperhadapkan dengan berbagai unsur dan dilema atas klaim dan tuduhan antar negara-negara adidaya terutama Amerika dan Cina yang saling mengkalim kebenaran dan menuntut pertanggungjawaban atas tuduhan tersebut.
Dilain sisi kita diperhadapkan dengan skenario konspirasi atas dominasi negara kuat terhadap negara lemah. Banyak negara yang terpapar virus. Indonesia sejak awal tidak mengindahkan fenomena ini dan pejabat negara yang semestinya berikhtiar akan ancaman ini seakan-akan menganggap ancaman Covid-19 sebagai bahan lelucon. Hasilnya, lelucon tersebut sekarang menjadi “boomerang” tersendiri buat mereka untuk dipertanggungjawabkan dihadapan ruang publik.
Ancaman besar bagi negara adalah terjadinya pelemahan ekonomi termasuk Indonesia. Berbagai kebijakan dikeluarkan untuk mengatasi masalah tersebut. Di antara kebijakan yang dikeluarkan oleh negara antara lain relaksasi pembayaran kredit bank, insentif listrik dan pembebasan pajak, guna menjaga stabilitas ekonomi. Hal krusial yang menjadi pertentangan antara pemangku kebijakan baik ditingkat puast maupun daerah perihal pilihan lockdown atau social distance yang kini sudah mengarah pada PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) hingga menutup beberapa kota di Indonesia.
Pada awalnya, media disuguhkan dengan bantahan Bupati Memberamo Tengah terhadap sikap dan pernyataan Mentri Koordinator Kemaritiman dan Investor Luhut Binsar Panjaitan terkait larangan lockdown di Papua. Kerumitan yang terjadi selanjutnya adalah singkronisasi antara lembaga negara termasuk pemerintah daerah dalam mendistribusi bantuan social kepada masyarakat yang berdampak. Diskursus kebijakan tersebut tergamparkan lewat spontanitas Sehan Lanjar (Bupati Bolanggondow Timur) mengkritisi kebijakan menteri sosial dalam hal mekanisme pemberian bantuan hingga terbawa pada saling balas pantun antara Bupati Boltim dengan Bupati Lumajang.
Lingkup permasalahan tersebut patut diakui, bahwa semua negara berusaha keras untuk menangani virus ini. Beberapa negara seperti Korea Selatan sedapat mungkin meminimalisir penyebaran Corona dan polanya diikuti oleh Spanyol yang melakukan karantina mandiri dan kebijakan lockdown yang dilalukan oleh Italia dan delapan negara lainnya termasuk Malaysia.
Indonesia kita masih mencari formula kebijakan dalam menangani covid-19 dan bahkan mengalami kekaburan. Misalnya penerapan PSBB di Provinsi Gorontalo yang rasa lockdown lewat menutup perbatasan, sementara di antara keduanya mempunyai substansi dan urgensi nilai yang berbeda. Dalam beberapa pandangan mengkalim pemerintah tidak memiliki ketegasan dan regulasi simpang siur. Ketika hampir semua provinsi melalukan PSBB pemerintah pemerintah pusat tertanggal 11 Mei 2020 mengeluarkan regulasi baru tentang PSBB, dengan membuka ruang PSBB yakini, umur 45 tahun bisa beraktifitas agar dapat menyelamatkan ekonomi Negara. Regulasi tersebut dipertanyakan oleh MUI, melalui Sekjen Anwar Abas mempertanyakan kebijakan tersebut dan menegaskan tugas utama pemerintah adalah menjaga keselamatan rakyat. Kebijakan harus mempertimbangkan berbagai aspek terutama menyangkut dengan kehidupan manusia.
Dalam menghadapi kondisi seperti ini, negara atau pemerintah selayaknya menyadari, apapun yang dilakukan oleh pemerintah, bagai rakyat musuh mereka adalah negara. Kondisi seperti ini terjadi karena negara dan perangkatnya telah membatasi ruang publik bagi warganya, imbasnya harapan besar masyarakat untuk hidup dalam mencukupi kebutuhannya menaruh harapan penuh kepada Negara. Negara dalam hal ini pemerintah harusnya lebih peka terhadap kondisi yang terjadi. Artinya apapun kebijakan yang ditempuh tanpa pengelolaan dan penyediaan political goods sebagai bagian governability akan berdampak pada kebijakan itu sendiri.
Prinsipnya sederhana, governability sebagai alternatif menyuguhkan hal-hal dasar yang layak dilakukan oleh negara atau pemerintah di tengah masalah bangsa seperti ini. Negara atau pemerintah sedapat mungkin dan harus memberikan jaminan atas pengelolaan dan menyediakan barang-barang publik lewat jaminan kesehatan, pendidikan, stabiltas ekonomi, partisipasi, transportasi, mengelola perbedaan dalam masyarakat dan lain sebagainya. Intinya adalah negara dalam kondisi covid-19 harus bisa memberikan jaminan bagi masyarakat untuk tidur nenyak, perutnya kenyang, otaknya segar serta kenyamanan dalam berafiliasi. Atas hal tersebut, ada beberapa alternatif kebijakan yang bisa dilakukan untuk penanganan pendemi global covid-19 khususnya di Provinsi Gorontalo antara lain :
Pertama, sinkronisasi kebijakan antara pemerintah provinsi dan Kabupaten/Kota; untuk mengefektifkan kebijakan PSBB perlu adanya singkroniasi kebijakan antara pemangku kepentingan antara berbagai level baik pusat maupun daerah dan lebih khusus antara pemerintah provinsi dan kabupaten kota yang lebih dekat dengan masyarakat. Kebijakan yang tidak seirama akan menimbulkan kondisi menjadi tidak efektif antara penegakan regulasi dan apa yang diinginkan oleh masyarakat.
Di Provinsi Gorontalo misalnya, mengenai pembatasan wilayah diserahkan pengaturan mekanismenya pada masing-masing kabupaten dan Kota. Imbasnya secara faktual kita bisa melihat bahwa seruan dan regulasi yang diterapkan melalui PSBB tidak berjalan secara efektif. Hal ini bisa dilihat pada beberapa hari ini setelah penerapan PSBB. Ketataan akan regulasi bisa ditemuakan dijalan-jalan utama, namun selain jalan utama masih masih banyak masyarakat yang tidak mengindahkan regulasi melalui PSBB, misalnya berboncengan di atas motor serta kerumunan masyarakat pada setiap titik perkumpulan.
Secara psikologi, kondisi tersebut seperti apa yang dikemukakan oleh Solomon Asch (1996), kehendak penyesuaian diri itu bisa sekedar pura-pura atau mencoba meyakinkan diri setuju dengan mayoritas atas regulasi yang ditetapkan. Seringkali “kecenderungan mereka untuk menyesuaikan diri lebih kuat dari pada nilai atau persepsi dasar mereka.” Di dalam kondisi seperti sekarang ini, masyarakat akan diperhadapkan pada pilihan, diantaranya mengikuti himbauan pemerintah berdasarkan pada regulasi atau mengindahkan regulasi dan mengejar kebutuhan ekonomi dengan berpura-pura mentaati regulasi yang ada.
Dalam perspektif governability, keperacayaan masyarakat terhadap pemerintah sangat penting dalam menyediakan political goods kepada masyarakat. Pengelolaan dan pengalokasian political goods sangat ditentukan oleh seberapa besar regulasi tersebut berdampak langsung kepada masyarakat. Dengan demikian singkronisasi kebijakan sangat penting dilakukan dengan melibatkan seluruh stakeholder tanpa dibatasi oleh interest politik bagi semua elemen. Tidak dapat dipungkiri bahwa, dalam narasi demokrasi sekarang kekuasaaan dari sentral aktor telah bergeser ke multiaktor. Hal ini yang kemudian menyebabkan tidak singkronnya regulasi antara pemerintah provinsi dan kabupaten/kota karena masing-masing mempunyai interest yang berbeda dalam penanganan Covid-19.
Kedua, karantina komunal melalui partisipasi masyarakat. Kondisi ini dilakukan jika pemberlakuan PSBB tidak efektif dalam menanggulangi virus. Langkah efektif yang bisa dilakukan oleh pemerintah yaitu melalui penerapan karantina komunal pada tingkat pemerintah di tingkat paling bawah seperti RT dan RW yang dikoordinir langsung oleh pemerintah desa. Salah satu daerah yang telah melakukan karantina komunal adalah Purwokerto. Cara ini dilakukan untuk lebih mendekatkan layanan dasar kepada masyarakat khususnya mendeteksi arus masyarakat yang keluar masuk di wilayah komunal tertentu.
Selain itu, karantina komunal juga berdampak pada partisipasi langsung masyarakat terhadap penanganan virus dan mendekatkan layanan kesehatan kepada masyarakat. Pemerintah negara yang kuat secara governability adalah pemerintah yang mampu memastikan dan menyediakan layanan dasar kesehatan yang prima kepada warga negaranya. Covid -19 adalah masalah publik, dengan demikian apa yang dilakukan oleh pemerintah harus benar-benar dirasakan oleh publik melalui partispasi publik dalam memecahkan masalah publik. Oleh sebab itu, peran melawan pandemi covid-19 bukan tanggung jawab pemerintah melainkan perlu melibatkan semua unsur termasuk masyarakat.
Ketiga, penguatan stabilitas sosial politik dan ekonomi. Corona virus telah merasuki sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara serta berdampak secara ekonomi dan sosial politik di seluruh lapisan masyarakat. Dalam kondisi demikian, peran negara sangat dibutuhkan kehadirannnya. Negara kuat dalam perspektif Governability adalah negara yang mampu menyediakan political goods khususnya dalam menjamin kenyamanan, keamanan dan ketentraman masyarakat. Di dalamnya termasuk tata ekonomi yang stabil menyangkut dengan kestabilan sistem keuangan dan perbankan maupun kesempatan ekonomi dan lingkungan yang bisnis yang kondusif.
Kendala negara atau pemerintah dalam penanggulangan covid-19 saat ini adalah kekhawatiran masyarakat terhadap ancaman keselamatan jiwa, ketidaknyamanan serta unsur keamanan warga untuk melindungi diri. Di lain sisi kebutuhan ekonomi menjadi kendala yang tidak bisa dielakkan, hal ini terjadi dikarenakan pembatasan sosial yang berimplikasi pada akses pasar dan lingkungan bisnis yang tidak kondusif. Untuk saat ini, stabilitas sosial politik dan ekonomi ditentukan oleh seberapa besar pemerintah mengupdate kebutuhan masyarakat sesuai situasi dan kondisi agar tidak mengalami ketimpangan guna mencegah kecemburuan sosial antar sesama. Pemerintah harus memastikan seluruh bantuan yang diberikan tidak lagi mengalami ketimpangan.
Keempat, delegasi kewenangan. Salah satu permasalahan krusial yang dihadapi pemerintah dalam penanganan covid-19 adalah tidak singkronnya data antara pemerintah pusat maupun daerah. Hal ini berdampak kepada masyarakat. Sekitar 8 (delapan) skenario bantuan sosial yang disiapkan oleh pemerintah. Namun yang menjadi masalah adalah sasaran yang tidak tepat, data yang tidak sesuai serta mekanisme yang berbeda diantara lembaga yang berkompeten dalam memberikan bantuan sosial.
Kondisi ini amat memprihatinkan. Pemerintah pada level bawah seperti desa atau kelurahan diperhadapkan dengan masyarakatnya serta menerima stigma yang tidak baik. Ketidakpuasan yang timbul akibat kecurigaan terhadap apa yang dilakukan oleh pemerintah menyangkut dengan bantuan sosial semakin memperkeruh persoalan di antara masyarakat. Fakta menunjukan, potensi konflik antara masyarakat maupun masyarakat dengan pemerintah semakin mengangah di tingkat desa.
Oleh sebab itu dibutuhkan skenario baru, bukan untuk menyampingkan data yang telah dimiliki oleh setiap instansi atau lembaga pemerintah, namun perlu adanya evalusi dan negara atau pemerintah pusat harus lebih peka terhadap persoalan ini dan memberanikan diri untuk mendelegasi urusan bantuan sosial ke daerah. Sangat beralasan karena pemerintah daerah termasuk desa dan masyarakatnya lebih tahu akan kondisi dan kebutuhan yang mereka alami.
Delegasi kewenangan seperti ini menandakan bahwa negara atau pemerintah telah mampu menyediakan political goods atau barang-barang mendasar bagi publik yang secara governability dapat mengeliminasi ancaman domestik yang mengancam tatanan sosial masyarakat serta mengelola perbedaan kepentingan di dalam masyarakat tanpa kekuatan koersif dalam penanganan covid-19.
Penulis : Pengajar Ilmu Politik di Universitas Negeri Gorontalo
Mahasiswa Prgram Doktor Admibistrasi Publik UNG