Era Covid-19 : Antara Tafakur Dan Tawakal

Foto : Doc Samsuri Kaluku

ANTARA TAFAKUR DAN  TAWAKAL 
(Era Covid 19)
OLEH : SAMSURI KALUKU


Pengantar Menuju COVID-19: Kesehatan dan Penyakit dalam Islam

Kesehatan merupakan hal yang sangat penting bagi kehidupan manusia, karena berkenaan dengan kesehatan manusia dapat beraktifitas, beribadah, dan melakukan berbagai hal lainnya. Tanpa kondisi yang sehat, manusia mengembalikan daya guna melakukan aktivitas serta menjalani kehidupan sebagaimana mestinya. Menjaga kesehatan yang berlandaskan agama merupakan solusi terbaik untuk mengatasi masalah kesehatan fisik dengan komitmen, mengamalkan nilai-nilai agama dalam kegiatan sehari-hari. [1] Adanya hubungan antara agama sebagai pijakan kepercayaan dan kesehatan rohani dan jasmani tentang bagaimana sikap berserah diri seseorang terhadap suatu kehendak, kekuasaan Allah SWT. Sikap dihasilkan yang membuat manusia dapat menciptakan aura positif, ketentraman lahir batin, serta hal yang baik lainnya.

Berkaitan dengan kesehatan, hadir kasus yang kini sedang menggemparkan dunia yaitu wabah penyakit menular yang sampai saat ini terkait dengan kematian korban jiwa yang diperoleh dunia, yaitu COVID-19. Umat ​​Islam wajiblah melihat kasus ini sesuai dengan pandangan Islam hidup, yang dipersembahkan oleh Islam tentang wabah penyakit yang sekarang sedang menjangkiti dunia yang juga pernah dialami pada masa Nabi Muhammad SAW. Pendek kata, Covid-19 dan Islam terkait.

Bertafakkur Lalu Bertawakal

Istilah Arab, ‘tafakkur artinya berpikir. Menurut Al-Fairuzabadi, salah seorang linguis Muslim awal terkemuka, al-fikr (pikiran) adalah refleksi atas sesuatu: afkar adalah bentuk jamaknya. Menurut pandangannya, fikr dan tafakkur adalah sinonim dan keduanya memiliki makna sama.

Sedangkan ‘Tawakal berarti menyerahkan diri kepada Allah SWT, tidak bergantung kepada makhluk atau benda lain. Dengan kata lain, manusia hanya dapat berusaha, sedangkan yang menentukan berhasil atau tidaknya sesuatu adalah Allah. Karena itu, manusia harus berserah diri dan memohon pertolongan kepada-Nya.

Menurut cerita seorang sahabat Nabi SAW, Anas bin Malik, pada suatu hari ada seorang laki-laki berhenti di depan masjid untuk mendatangi Rasulullah. Unta tunggangannya dilepas begitu saja tanpa ditambat. Rasulullah bertanya, ''Mengapa unta itu tidak diikat?'' Lelaki itu menjawab, ''Saya lepaskan unta itu karena saya percaya pada perlindungan Allah SWT.''

Maka Rasulullah menegur secara bijaksana, ''Ikatlah unta itu, sesudah itu barulah kamu bertawakal.'' Lelaki itu pun lalu menambatkan unta itu di sebuah pohon kurma. Suatu penjelasan yang gamblang mengenai tawakal telah diberikan Rasulullah lewat peristiwa itu.

Bahwa sesudah manusia berusaha, lalu menyerahkan hasilnya pada ketentuan Allah, itulah tawakal menurut ajaran Islam.

Kalau, misalnya -- seperti dalam kasus di atas -- unta itu sudah diikat, dan ternyata tetap hilang juga, itulah yang dinamakan takdir. Terhadap keputusan takdir, tidak satu pun dapat kita lakukan, kecuali menerimanya dengan tulus ikhlas, sembari berharap, semoga di balik takdir itu ada manfaat yang lebih besar buat kita.

Allah SWT berfirman: ''Barang siapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan menjadikan untuknya jalan keluar (dari kesulitan), dan akan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka. Dan barang siapa yang bertawakal kepada Allah, Maka Allah akan mencukupkan (keperluannya).'' (Q.S. 65: 2-3).

Menurut Profesor Malik Badri, seorang psikolog Muslim kontemporer, menjelaskan perbedaan antara tafkir dan tafakkur. Tafakkur lebih dalam dan lebih luas ketimbang tafkir. Tafakkur menjembatani persepsi dan konsepsi dari kehidupan dunia ini ke akhirat dan dari makhluk ke Penciptanya, Allah Swt. Perantaraan ini dikenal dengan i’tibar.

Jadi, tafkir bisa jadi terbatas pada pemecahan masalah hidup kita saat ini yang tak melibatkan emosi, namun, tafakkur melampaui hidup ini ke wilayah lebih luas, akhirat, dan melampaui kedangkalan materialisme menuju horizon lebih dalam, “ruh”, dan dengan demikian tafakkur memotivasi seluruh aktivitas eksternal dan internal kaum muslim. 

Di dalam Al-Qur’an terdapat 18 kali yang mengulang-ulang mengenai taffakur, salah satunya Allah Swt menyampaikan FirmanNYA di dalam QS. A-Nahl 11:

 Artinya:

“Dengan (air hujan) itu Dia menumbuhkan untuk kamu tanam-tanaman, zaitun, kurma, anggur dan segala macam buah-buahan. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang berpikir".

Pandangan Al-Qur’an mengenai manusia sebagai khalifah memiliki tugas mulia dan misi besar untuk di jalankan di muka bumi, sebagaimana dikemukakan dengan jelas di dalam beberapa ayat Al-Qur’an, salah satunya di dalam QS. Az-Zariyat (51) ayat 56:

Artinya: “Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku”.

Berdasarkan hal ini-lah bertafakkur tentunya menjadi salah satu ciri penting, bukan saja yang membedakan manusia dengan mahluk lainnya, tetapi juga menjadi salah satu prasyarat melaksanakan peran penting sebagai khalifah, untuk mengemban pembangunan peradaban sekaligus pembawa visi misi di muka bumi.

Takutlah kepada Allah, bukan takut kepada virus corona (tawakal baru tafakur)

Banyak orang yang lebih takut corona daripada berdoa kepada tuhannya, Allah SWT" salah satu kutipan dalam pesan broadcast tersebut. Narasi-narasi di atas dan sejenisnya walaupun sepele namun banyak menimbulkan kesan bahwa ketakutan dan kewaspadaan terhadap penyakit sejajar atau bahkan bertentangan dengan konsep takut kepada Tuhan.Kesannya orang-orang yang takut dan waspada terhadap corona kurang tawakkal kepada Allah SWT. Padahal, waspada terhadap penyakit dan bencana-bencana lain justru merupakan perintah dari Allah SWT dalam Al Quran. Di antara makna taqwa adalah ibadah, tunduk, takut, dan memelihara diri. Ibnu Katsir saat menjelaskan ayat tersebut memulai penafsirannya dengan menyatakan "Dalam ayat ini, Allah menakut-nakuti hambanya yang beriman terhadap suatu fitnah" (Tafsir Ibnu Katsir, Jilid 2 hal. 804). Adapun fitnah sendiri dimaknai oleh Ibnu Katsir sebagai cobaan dan ujian. Tentu penyakit yang melanda suatu daerah merupakan bagian dari cobaan tersebut.

Takutlah kepada Allah, bukan takut kepada virus corona," merupakan teologi neo-Jabariyah yang harus dijauhi  menurut Fathurrahman Kamal, Lc, M.Si. Jabariyah adalah suatu keyakinan yang semata-mata mengajarkan kepasrahan terhadap takdir Allah karena pada dasarnya ikhtiar tidak akan mengubah takdir seseorang. Suatu paham yang bertentangan dengan akidah ahlus sunnah wal jamaah.

Pada masa Rosul pernah terjadi wabah atau penyakit penular yaitu lepra atau kusta. Penyakit ini ditakuti dan menyeramkan karena dampaknya yang menyebabkan kecacatan atau kematian. Nabi Saw mengambil sikap untuk menjaga jarak atau jangan mendekati orang yang terkena penyakit tersebut, bahkan Nabi Saw memberikan perumpamaan agar berlarilah atau menghindarlah sebagaimana engkau berlari atau menghindar dari se-ekor singa. Karena untuk menjinakkan singat tersebut harus ada orang yang tahu bagaimana menjinakkan singa, sama halnya untuk menangani wabah atau virus tersebut harus ada orang yang memang mengerti untuk menanganinya.

Adanya wabah atau virus juga pernah terjadi pada masa Sayyidina Umar ibn Khathab. Ketika Umar sedang dalam perjalanan menuju Syam, saat sampai di wilayah Sargh, saat itu Umar mendapat kabar adanya wabah di wilayah Syam. Umar sebagai pimpinan bermusyawarah hingga beradu pendapat dengan Ubaidah ibn al-Jarrah. Ubaidah mengatakan bahwa Umar lari dari takdir Allah. Umar mengatakan tidak lari dari takdir Allah, tetapi memilih takdir Allah yang lain. Hal ini dilakukan Umar karena diingatkan oleh Abdurrahman bin Auf akan perintah Rasolullah agar tidak memasuki sebuah wilayah yang terkena wabah atau virus dan jika seseorang di wilayah tersebut kena wabah maka jangan keluar. Sedangkan beberapa sahabat yang melanjutkan ke Syam akhirnya meninggal terkena wabah yaitu Abu Ubaidah ibhn Jarrah, Muadz bin Jabbal, Yazid bin Abu Sufyan, Syarhbil bin Hasanah dan Al Fadh bin Abbas.

Maka jelas anjuran Al-Qur’an kepada sesuatu yang berbahaya terhadap diri kita agar janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan atau kematian (Qs. 2/195). Bahkan kaidah fiqhiyyah mengatakan “ laa dhororo wa laa dhirooro” artinya tidak boleh membahayakan diri dan membahayakan orang lain.

Kaidah fiqhiyyah yang lain juga mengatakan “Dar ul mafasid muqaddamun 'ala jalbil mashalih” artinya menolak mafsadah (kerusakan) didahulukan dari pada mencari kemaslahatan (kebaikkan)”.  Kaidah fiqih ini semua untuk menjaga jiwa manusia dari sesuatu yang bisa membinasakan dan berakibat buruk terhadap orang lain.

Sebagai orang yang beriman dengan memahami pengertian taffakur dan pendidikan Islam di atas dalam menghadapi Coronavirus Covid-19, yang merupakan virus yang pertama kali ditemukan di Wuhan Cina pada Desember 2019. Kita semua dapat bertafakkur juga dengan kisah yang pernah terjadi saat zaman kekhalifahan Umar bin Khattab, dimana pada zaman pemerintahan beliau ini pernah terjadi wabah yang bermula di daerah Awamas, sebuah kota sebelah barat Yerussalem, Palestina, sehingga dinamakan demikian.

Di dalam buku biografi Umar bin Khattab karya Muhammad Husein Haekal menjelaskan, wabah tersebut menjalar hingga ke Syam (Suriah), bahkan ke Irak. Diperkirakan kejadian wabah ini akhir 17 Hijriah, dan memicu kepanikan massal saat itu. Di dalam sebuah hadis yang di sampaikan Abdurrahman bin Auf mengenai sabda Nabi SAW:

“Apabila kalian mendengar wabah tha’un melanda suatu negeri, maka janganlah kalian memasukinya. Adapun apabila penyakit itu melanda suatu negeri sedang kalian kalian di dalamnya, maka janganlah kalian lari keluar dari negeri itu.” (Muttafaqun ‘alaihi, HR. Bukhari & Muslim).

Pada akhirnya wabah tersebut berhenti ketika sahabat Amr bin Ash ra memimpin Syam. Kecerdasan beliau-lah dan dengan ijin Allah Swt yang menyelamatkan Syam. Amr bin Ash berkata:

“Wahai sekalian manusia, penyakit ini menyebar layaknya kobaran api. Maka hendaklah berlindung dari penyakit ini ke bukit-bukit!”. Saat itu seluruh warga mengikuti anjurannya. Amr bin Ash dan para pengungsi terus bertahan di dataran-dataran tinggi hingga sebaran wabah Amawas mereda dan hilang sama sekali.

Dari kisah di atas kita semua dapat belajar dari orang-orang terbaik bersikap, dan juga yang telah di contohkan oleh Rasulullah Saw. Apa yang dapat kita ambil ibrah atau pembelajarannya adalah:

Pertama, karantina sebagaimana sabda Rasulullah SAW diatas, itulah konsep karantina yang hari ini kita kenal. Mengisolasi daerah yang terkena wabah, adalah sebuah tindakan yang tepat. Kita bisa melihat dari sebuah tabel dibawah ini, bersumber dari harian  Washington Post.

Keterangan bebasnya dapat diartikan sebagai berikut, searah jarum jam :
  1. Orang bergerak bebas, dimana orang menularkan corona secara bersamaan.
  2. Kurva kedua dilakukan lockdown, sehingga ada waktu untuk bisa melakukan penyembuhan secara bertahap.
  3. Kurva ketiga dilakukan “social distancing”, dengan berdiam diri di rumah dan mengurangi berbagai kegiatan sementara waktu.
  4. Kurva keempat dilakukan dengan sangat extreme, dengan melakukan jam malam dan sangat ketat, untuk tidak keluar rumah bahkan diberikan jam waktu.

Kedua, bersabar.

Di dalam sebuah hadis riwayat Imam Bukhari diceritakan, suatu kali Aisyah bertanya kepada Nabi SAW tentang wabah penyakit. Rasulullah SAW bersabda, “Wabah penyakit itu adalah orang-orang yang DIA kehendaki. Allah menjadikannya sebagai rahmat bagi orang-orang yang beriman. Jika terjadi suatu wabah penyakit, ada orang yang menetap di negerinya, ia bersabar, hanya berharap balasan dari Allah Swt. Ia yakin tidak ada peristiwa yang terjadi kecuali sudah ditetapkan Allah. Maka, ia mendapat balasan seperti mati syahid.”

Ketiga, berbaik sangka dan berikhtiarlah.

Rasulullah SAW bersabda:

‘..Tidaklah Allah SWT menurunkan suatu penyakit kecuali Dia juga yang menurunkan penawarnya. (HR. Bukhari).

Dalam kisah Umar bin Khattab berikhtiar menghindarinya, serta Amr bin Ash berikhtiar menghapusnya. Istilah saat ini dan sedang kita lakukan adalah melakukan “social distancing”, dilansir dari The Atlantic, tindakan yang bertujuan untuk mencegah orang sakit melakukan kontak dalam jarak dekat dengan orang lain untuk mengurangi peluang penularan virus. Artinya juga sementara waktu menjauhi perkumpulan, menghindari pertemuan massal, dan menajga jarak antar manusia.

Keempat, banyak berdoalah.

Perbanyak do’a-do’a keselamatan, salah satu contohnya yang sudah diajarkan Rasulullah Saw untuk di lafadzkan di setiap pagi dan sore berikut ini:

“Bismillahilladzi laa yadhurru maasmihi, say'un fil ardhi walafissamaai wahuwa samiul'alim”.

Artinya:

“Dengan nama Allah yang apabila disebut, segala sesuatu dibumi dan langit tidak berbahaya. Dialah maha mendengar dan maha mengetahui).

Barang siapa yang membaca dzikir tersebut 3x dipagi dan petang. Maka tidak akan ada bahaya yg memudharatkannya. (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi).

Terkait dengan wabah coronavirus covid 19 ini, sebagai seorang mu’min, maka sebaiknya selain melakukan juga ikhtiar karantina atau “social distancing” ini, maka tingkatkan juga spiritual kita. Jika dapat bertafakkur lebih jauh, sebagai muslim semua wabah ini adalah sebuah rahmatNYA, sebuah peringgatan bagi yang berpikir, untuk terus menjadikannya sebagai wasilah atau jalan untuk terus banyak mendekatkan diri kepada Allah Swt, sehingga ketika tingkat kepasrahan tinggi maka akan dirasakan ketenangan dan dengan segala usaha dan do’a keselamatan juga kepada Allah Swt, dengan selalu melibatkanNYA, dan berharap semua wabah ini akan berakhir.

DAFTAR PUSTAKA

[1] Abdul Hamid, Agama dan Kesehatan Mental dalam Perspektif Psikologi Agama , dalam Jurnal Kesehatan Tadulako, Vol. III, No. 1, Januari 2017, 1.

[2] Panduan untuk Penyakit Virus Corona 2019: Pencegahan, Kontrol, Diagnosis dan Manajemen (RRC: People's Medical Publishing House), 2020. 

[3] SIAPA. Laporan Situasi Novel Coronavirus (2019-nCoV)-1. 21 Januari 2020. Diakses pada 6/04/2020 pukul 20.00 WIB.

[4] Erlina Burhan, dkk, Pneumonia Covid-19: Diagnosis & Penatalaksanaan di Indonesia , (Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia), 2020, 1.

[5] Dr. Tinku Joseph, Dr. Mohammed Ashkan, COVID-19 , (Kochi, Kerala, India: Institut Ilmu Kedokteran Amrita), 2020.

[6] SIAPA. Pernyataan Direktur Jenderal WHO pada briefing media pada 2019-nCoV 0n 11 Februari 2020, lihat di htttps: //www.who.int/dg/speeches/detail/who-director-generals-remarks-at-the-media- briefing-on-2019ncov-on-11-februari-2020.

[7] Sidney Osler, CORONAVIRUS: merebaknya semua rahasia yang terungkap tentang pandemi covid-19 , hak cipta 2019.

[8] Sejenis penyakit pernapasan yang sangat akut

[9] Erlina Burhan, dkk, Pneumonia Covid-19: Diagnosis & Penatalaksanaan di Indonesia …… 6.

[10] Demikian dikutip dari Kepala Departemen Kedokteran Forensik dan Medikolegal RSU dr Soetomo Surabaya, dr. Edi Suyanto, SpF, SH, MH

[11] Syamsuddin Arif, Teologi Wabah: Perspektif Islam tentang Pandemi , 2020,14-15.

[12] Nur Afifah Ramadhanty A / Mahasiswi Studi Agama-agama Semester VI Fakultas Ushuluddin UNIDA Gontor (https://saa.unida.gontor.ac.id/islam-dan-covid-19/)

[13] Indriya.Rusman (https://www.harianterbit.com/opini/read/119220/Tafakur-Pandemi-Coronavirus-Covid-19-dalam-Perspektif-Pendidikan-Islam).

[14) https://www.kompasiana.com/denidarmawan/5e883cffd541df0a1b09b382/takut-allah-atau-takut-corona

[15] https://portaljember.pikiran-rakyat.com/khazanah/pr-16354264/seruan-takut-kepada-allah-[bukan-virus-corona-ini-pandangan-islam

ANTARA TAFAKUR DAN  TAWAKAL 
(Era Covid 19)
OLEH : SAMSURI KALUKU
Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url