Sarinah dan Perjuangan Perempuan
Ilustrasi
Jakarta - Perempuan harus berjuang. Jangan suka mengeluh. Perempuan harus bangkit. Agar menjadi perempuan yang bergerak dan mengambil posisi-posisi yang bermanfaat bagi masyarakat dan bangsa. Perempuan tidak untuk mengalahkan laki-laki. Tapi harus bersama laki-laki dalam berjuang. Begitu Sri Rahayu, wakil ketua Komisi IX DPR RI Periode 2019-2024, menegaskan.
Itu disampaikan dalam diskusi DPP GMNI Periode 2019-2022. Diskusi itu dipandu Wakil Ketua Bidang Pergerakan Sarinah DPP GMNI, Fanda Puspitasari. Dengan Sri Rahayu sebagai pembicara utama. Ia juga merupakan alumni GMNI.
Narasumber lainnya Akademisi UI Yenny Sucipto, Sekjen DPP Pergerakan Sarinah Adhi Ayoe Yanthy dan Nursyahbani Katjasungkana, anggota Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan juga sekretaris jenderal Koalisi Perempuan Indonesia untuk Keadilan dan Demokrasi 1998-2004.
Diskusi berlangsung online. Via Zoom, Kamis, pekan lalu. Ini merupakan bagian dari rangkaian giat organisasi yang dipimpin ketum Arjuna Putra Aldino dan sekjen M. Ageng Dendy itu dalam menyemarakkan Bulan Bung Karno, Juni.
Diskusi kali ini, tentang perempuan. Ya, dalam konteks pemikiran Bung Karno. Tepatnya, peran perempuan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Temanya, Sarinah: Pejuang Pemikir - Pemikir Pejuang.
Diskusi dibuka dengan paparan Sri Rahayu. Memulai penyampaiannya tentang peranan perempuan yang memiliki peranan penting dalam kehidupan dan tatanan masyarakat.
"Perempuan menempati posisi penting. Sebagai penemu pertanian, konsep bangunan rumah dan sebagainya. Namun karena kondisi sosial, budaya dan ekonomi yang mulai berubah, maka perempuan mengalami kemerosotan peran. Namun sesungguhnya, perempuan memiliki kontribusi yang besar dalam pembentukan masyarakat," katanya.
Di Indonesia, peran perempuan sangatlah penting bagi kemajuan bangsa. Dalam buku berjudul Sarinah, lanjut Sri Rahayu, Bung Karno menuliskan perempuan merupakan tiang negara.
Sesungguhnya, pemikiran Bung Karno mengenai peran perempuan terpolarisasi dalam tiga ranah pemikiran. Pertama, mengenai kodrat perempuan. Kedua, mengenai stereotipe negatif terhadap perempuan. Dan ketiga, mengenai kemitraan sejajaran laki-laki dan perempuan dalam keluarga.
"Bung Karno mengatakan, pentingnya bekerja sama antara laki-laki dan perempuan. Tidak boleh saling menentang antara satu dengan lainnya. Meraih tujuan bersama membela kemerdekaan. Dalam bukunya, berjudul Sarinah, feminisme khas Bung Karno yaitu anti penindasan, adil, menjunjung kesetaraan dan berpikir terbuka," kata narasumber lainnya, Yenny Sucipto saat memarkan materinya.
Dalam konteks bernegara, agar terwujudnya kesejahteraan bagi perempuan, maka kebijakan negara harus bersifat inklusif dan tidak maskulin. "Harus bisa mengakomodir kepentingan perempuan dan bisa mengatasi persoalan perempuan," tambahnya.
Menurut Yenny, perempuan tertinggal dalam peran-peran publik disebabkan lingkungan sang perempuan. "Perempuan harus mau dan percaya diri dalam melibatkan dirinya dalam peran-peran penting. Dan juga masyarakat harus mulai merubah cara pandangnya terhadap peran perempuan," ungkapnya.
Adhi Ayoe Yanthy, narasumber selanjutnya, mengulas kembali tentang buku Sarinah. Khususnya pemikiran Bung Karno tentang perjuangan perempuan.
"Dalam buku Sarinah, Sukarno banyak mengutip nama-nama tokoh feminisme dunia. Seperti Rosa Luxemburg, Clara Zetkin dan Henriette Roland. Dalam mempelajari Sarinah atau pergerakan perempuan Indonesia, sangat penting melihat perkembangan di luar. Mempelajari wacana-wacana feminisme yang lain," ujarnya.
Menurut Adhi Ayoe Yanthy, juga menyinggung soal feminisme dan emansipasi. Dua kata itu merupakan hal berkaitan. "Emansipasi ialah istilah yang digunakan untuk menjelaskan sejumlah usaha untuk mendapatkan hak politik maupun persamaan derajat," tambahnya.
Sementara Nursyahbani Katjasungkana juga mengulas tentang buku Sarinah. Dikatakannya, penindasan perempuan dimulai saat adanya kepemilikan pribadi. Bung Karno, sepakat bila konsep keluarga dan penindasan perempuan bisa berubah karena merupakan konstruksi sosial.
"Jauh sebelum Bung Karno menulis Sarinah, Bung Karno sudah menggembor-gemborkan mengenai masyarakat sosialis. Yang di dalamnya terdapat perempuan yang merdeka. Gerakan perempuan yang menjunjung tinggi keadilan sosial. Bung Karno mengatakan, bahwa perempuan adalah Ibu Bangsa. Yang harus terlibat dalam kemerdekaan dan pembangunan bangsa," jelasnya.
Saat ini, harus ada langkah kreatif dalam mewujudkan kemerdekaan perempuan yang diharapkan Bung Karno. "Kita harus kreatif dan menciptakan strategi-strategi baru dalam mewujudkan kemerdekaan perempuan sesuai yang diharapkan Bung Karno itu," pungkasnya.