Adakan Pertemuan, FORSUB meminta Pemerintah Hentikan Pembahasan Omnibus Law
Foto : Pertemuan FORSUB di Sekretariat KPA SULTRA membahas Penghentian Pembahasan Omnibus Law. |
Kendari, Sangfajarnews.com - Sepuluh organisasi Masyarakat Sipil yang mengatasnamakan dirinya Forum Rakyat Sultra Bersatu (FORSUB) menolak dan mendesak penghentian pembahasan Omnimbus Law Rancangan Undang-Undang Cipta Lapangan Kerja (RUU Cilaka). Penolakan tersebut dilakukan dalam pertemuan konsolidasi dan diskusi di Sekretariat Konsorsium Pembaruan Agraria Sulawesi Tenggara (KPA SULTRA), Rabu (15/7/2020).
Dalam pertemuan itu, masing-masing organisasi yang tergabung dalam FORSUB mengutarakan pendapatnya tentang penolakannya terhadap Omnibus Law.
Menurut Kisran Makati Direktur Pusat Kajian dan Advokasi Hak Asasi Manusia (PUSPAHAM) Sultra yang juga Dewan Nasional Konsorsium Pembaruan Agraria (DN KPA) bahwa aturan dalam Omnibus Law RUU Cilaka secara eksklusif memang dibuat untuk lebih mengutamakan posisi investor ketimbang perlindungan terhadap hak demokrasi dan konstitusional rakyatnya.
"Omnibus Law RUU Cilaka hanya mengesampingkan amanah konstitusi untuk melindungi dan mensejahterakan rakyat dengan dalih mendatangkan investasi. Mirisnya, banyak kasus-kasus yang berujung pada kriminalisasi terhadap masyarakat justru yang menjadi pelapornya adalah korporasi atau investor itu sendiri, seperti korporasi PT. GKP di Pulau Wawonii Kabupaten Konawe Kepulauan melaporkan petani kecil karena mempertahankan hak atas tanahnya yang diklaim sebagai IUP dari perusahaan tersebut. Disini, negara abai untuk melindungi dan membela rakyatnya, negara justru membuat aturan yang mengukuhkan keistimewaan posisi investor dengan berbagai kemudahan regulasi yang mengebiri hak rakyatnya sendiri," ungkap Kisran Makati.
Sementara itu menurut Didi Hardiana perwakilan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA ) Sultra, menilai substansi omnibus law RUU Cilaka melanggar konstitusi termasuk melawan sepuluh keputusan Mahkamah Konstitusi terkait Undang-Undang Pokok Agraria.
"Kesimpulan kami RUU Cilaka merupakan undang-undang yang bukan hanya liberal tapi juga neoliberal karena hendak menjadikan tanah sebagai benda komoditas untuk dikomersilkan bertentangan dengan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA)," ujarnya.
Didi sapaan akrabnya juga mengungkapkan bahwa ada motif jahat yang kelihatan vulgar untuk menganti UUPA yang justru memudahkan tindakan kriminalisasi terhadap masyarakat sipil.
"Ada beberapa motif jahat yang kelihatan vulgar untuk mengganti UUPA yang merupakan benteng terakhir petani melalui yang mengikat secara aturan. Pertama : Petani Masyarakat Adat & Nelayan akan tergusur dari ruang hidupnya karena pemerintah memberikan berbagai keistimewaan dan prioritas kepemilikan lahan untuk kepentingan bisnis dan investasi. Kedua : RUU Cilaka mengancam turunnya kualitas dan kuantitas panen kaum tani, nelayan dan masyarakat adat karena perubahan fungsi lahan oleh pengusaha untuk kepentingan bisnisnya. Ketiga : Kaum Tani, Masyarakat adat atau Nelayan akan mudah dikriminalisasi kalau melawan proyek para investor dan pengusaha yang disetujui pemerintah,” ungkap Didi Hardiana.
Penolakkan lainnya datang dari Ujang Uskadiana Ketua Serikat Tani Konawe Selatan (STKS), Ia mendesak segera di hentikan pembahasannya, pasalnya RUU Cilaka Lapangan Kerja, sangat tidak berpihak kepada petani, buruh tani, buruh, nelayan, kaum miskin kota dan masyarakat adat.
"Bahkan sebelum ada RUU ini pun, sudah menunjukkan watak dan praktek yang tidak adil, berbagai modus dan skema perampasan tanah terjadi, konflik agraria dibiarkan berlarut-larut sehingga merugikan produktifitas petani akibat tidak adanya kepastian dalam penyelesaian konflik agraria," katanya.
Dukungan terhadap aksi 16 Juli tentang penolakan Omnibus Law juga disampaikan Novi Lestari dari Solidaritas Perempuan (SP) Kendari, menurutnya UU ini lebih memihak kepada investor, mengabaikan hak-hak perempuan terutama perempuan akar rumput.
"Ini akan semakin memperkuat diskriminasi dan ketidakadilan gender, melanggar hak asasi manusia dan hak asasi perempuan serta bertentangan dengan kebijakan yang diantaranya : 1. UU Nomor 7 Tahun 1984, 2. UU Nomor 11 Tahun 2005, 3. Kesetaraan Gender prinsip Nomor 9 Tahun 2000, 3. Tentang Penghapusan Gender dalam pembangunan dan RPJMN 2020-2024," ujarnya.
Lebih lanjut Fani Astika perwakilan Rumah Revolusi, menyatakan bahwa Omnibus Law RUU Cilaka merupakan produksi yang akan melanggengkan oligarki, menindas hak asasi manusia, melahirkan ketidakadilan rakyat, diskriminatif serta memperlemah demokrasi.
"Pada intinya tidak ada kepercayaan terhadap RUU Omnibus Law, jika di sahkan akan berdampak pada rusaknya lingkungan melalui kemudahan izin serta merugikan hak-hak buruh dengan upah yang murah," lanjut Fani.
Selain itu, LMND Kendari menuturkan bahwa bahwa pasal-pasal dalam Omnibus Law hanya menguntungkan investor semata. RUU Cilaka dibahas didalamnya, mulai dari tenaga kerja, pertanian, perikanan, kelautan, pendidikan,pertambangan, minyak dan lain sebagainya. Hal itu hanya untuk kepentingan investasi, misalnya yang terjadi di Sulawesi Tenggara masih banyaknya pengusuran lahan petani yang terjadi dimana-mana. Untuk itu hentikan pengusuranhan lahan petani, apalagi dunia pendidikan saat ini sangat-sangat mencekik mahasiswa dengan biaya yang begitu mahal karena itu sudah saatnya mewujudkan pendidikan gratis ilmiah dan demokratis," tutur La Ode Agus - Ketua LMND Kota Kendari.
Senada dengan itu Rizal Papalia Ketua DPC GMNI Kendari, menganggap bahwa pembahasan Omnibus Law RUU Cilaka yang sejak diusulkan oleh pemerintah akan menjadi pertanda buruk bagi masyarakat Indonesia dilihat dari berbagai kacamata formil hingga materil.
"RUU Cilaka Cipta Lapangan Kerja atau Omnibus Law, kami nilai hanya mementingkan kepentingan oligarki dan mengesampingkan nilai kesejahteraan buruh, lingkungan dan aspek pendidikan," anggapnya.
Forum Rakyat Sultra Bersatu (FORSUB) Omnimbus Law merupakan gabungan berbagai organisasi: Petani, Buruh, Perempuan, Mahasiswa dan organisasi Masyarakat sipil. Organisasi itu diantaranya adalah Konsorsium Pembaruan Agraria Sulawesi Tenggara (KPA SULTRA), Pusat Kajian dan Advokasi Hak Asasi Manusia Sulawesi Tenggara (PUSPAHAM SULTRA), Solidaritas Perempuan (SP) Kendari, Serikat Tani Konawe Selatan (STKS), FORSDA Kolaka, Liga Mahasiswa Nasional Demokratis (LMND) Kota Kendari, Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Kota Kendari, Rumah Revolusi, KBS, FORMATANI.
Reporter : Iskandar Wijaya
Editor : Adhar