Menakar Kualititas Demokrasi Pada Pilkada di Tengah Pandemi Covid-19 dalam Perspektif Psikologi Politik
Ikzan Nopardi, Ketua Umum HIMAPSI FISIP Unmul |
Oleh : Ikzan Nopardi, Ketua Umum HIMAPSI FISIP Unmul
Di tahun 2020 ini, penyelenggaraan pilkada serentak menjadi pesta demokrasi di beberapa daerah di Indonesia yaitu 270 wilayah pemilihan yang meliputi sembilan provinsi, 37 kota, dan 224 kabupaten. Pesta 5 tahun sekali ini sebagai perayaan, harapan, dan juga masa depan rakyat dalam memilih kepala daerahnya.
Adanya pandemi covid-19 ini tentunya menjadi permasalahan yang sangat mendasar terkait proses pelaksanaannya. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Pemilihan Kepala Daerah (Perppu Pilkada) akhirnya menggeser waktu pelaksanaan Pilkada 2020 yang awalnya 23 September menjadi 9 Desember 2020.
Hal ini tentu menimbulkan banyak persoalan dalam proses pelaksanaan pilkada ditengah pandemi covid-19 ini. Antara lain kesehatan masyarakat hingga kualitas demokrasi itu sendiri seperti tingkat partisipasi masyarakat untuk menggunakan hak suaranya yang bisa saja mempengaruhi kepercayaan dan kredibilitas kepala daerah terpilih. Kali ini, kita mencoba menakar kualitas demokrasi pilkada tahun 2020 ini dari perspektif psikologi politik
Secara definisi psikologi politik merupakan penggabungan dua disiplin keilmuan yaitu psikologi dan ilmu politik. Yang menyangkut penjelasan tentang bagaimana perilaku manusia mengadaptasi konsep-konsep psikologi yang relevan dengan politik kemudian mengimplementasikannya pada suatu masalah atau isu-isu politik. Dalam hal ini adalah pelaksanaan pilkada.
Emosi dan pemberian suara menjadi hal yang sangat berpengaruh pada perilaku politik dalam pemilu. Dua emosi dasar dalam melihat peristiwa politik dan para kandidat yaitu kecemasan dan antusiasme masyarakat.
Antusiasme memengaruhi keputusan kepada siapa suara diberikan, kecemasan meningkatkan pencarian informasi tentang profil para kandidat. Ketika orang-orang tidak mengalami kecemasan, mereka cenderung mengandalkan cara mereka memberikan suara dengan melihat partai-partai pengusung kandidat. Maka, kecemasan menjadi peran penting dalam mengidentifikasi kredibilatas, visi, misi, hingga program calon kepala daerah.
Kemudian untuk tetap menjaga kualitas demokrasi, pentingnya para kandidat menghadirkan sebuah solusi baru dalam programnya yang menjadi problem masyarakat selama ini. Misalnya secara intens mengampanyekan tentang isu-isu pendidikan, pengentasan kemiskinan, dan kesehatan.
Dengan demikian orang yang minat dengan isu-isu tersebut menjadi partisipan. Sehingga, ada harapan dan optimisme secara emosional tentang prospek kandidat jika terpilih dan secara tidak langsung pemberian suara tetap terjaga.
Dalam sebuah demokrasi, media mungkin memengaruhi opini publik saat berlangsungnya kampanye. Media menjadi bagian dari strategi kampanye untuk menyampaikan pesan, debat-debat para kandidat, dan isu-isu karakter. Idealnya, demokrasi berjalan atas dasar keputusan yang dibuat oleh warga negara yang memiliki kesadaran dan mampu berpikir secara baik bukan pada permainan politik uang dan cara-cara yang negatif.
Harapannya, kita dapat mengambil hikmah dari situasi dan kondisi sekarang, dalam pelaksanaan pilkada di tengah pandemi dapat melahirkan pemimpin kepala daerah yang mengutamakan kepentingan dan kesejahteraan rakyatnya dalam menghadapi tantangan kedepan.***