Aliansi Mahasiswa Kaltim Menggugat Tolak Omnibus Law
Foto : Aksi Aliansi Mahasiswa Kaltim Menggugat (MAHAKAM) di Gedung DPRD Provinsi Kaltim. Korlap, Selo Putra Bahari. |
Oleh : Aliansi Mahasiswa Kaltim Menggugat (MAHAKAM).
Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja (RUU Cipta Kerja) akhirnya sah menjadi undang-undang, setelah disepakati dalam pengambilan keputusan tingkat II dalam rapat paripurna DPR RI, Senin (5/10/2020).
Hal ini tentu menjadi penghianatan bagi rakyat. UU Cipta Kerja dalam metode omnibus law berisikan pasal-pasal yang akan memberikan penindasan sistematis bagi masyarakat.
Omnibus Law cipta lapangan kerja akan mengamandemen lebih dari 70 UU menjadi satu untuk kepentingan mempermudah investasi dengan misi dari presiden lapangan kerja dapat terbuka. Omnibus Law cipta lapangan kerja mencakup ekosistem penyederhanaan perizinan dan investasi.
Aturan ini sebagai bentuk sikap pemerintah untuk berfokus menciptakan kemudahan berusaha dengan mendorong meningkatnya investasi dan pertumbuhan ekonomi karena selama ini regulasi dari tingkat pusat hingga daerah dianggap menghambat.
Regulasi ini berpotensi akan kembali menggerus hak-hak masyarakat terutama kaum buruh. Omnibus Law di inisiasi hanya untuk kepentingan iklim yang kondusif bagi bagi investasi, kepeningan korporasi serta akumulasi para pemodal.
Upaya mendorong Omnibus Law cipta lapangan kerja tentu menjadi preseden buruk bagi negara atas Ketidakmampuan negara mengelola dengan baik sumber daya alam akhirnya membuat rakyat semakin tergerus.
Hal ini terlihat jelas dalam muatan Omnibus Law UU Cipta Kerja dalam pasal pasal yang tertera, pasal bermasalah tentang Ketenagakerjaan, misalnya;
Pertama, mengenai upah minimum dan upah sektoral. Dalam pasal 88 huruf c dan 88 huruf d draf RUU Cipta Kerja klaster ketenagakerjaan, penentuan upah minimum hanya memperhitungkan pertumbuhan ekonomi dan inflasi provinsi. Padahal, sebelumnya, Peraturan Pemerintah (PP) 78/2005 mengatur penetapan upah provinsi serta kabupaten/kota memerhatikan standar kualitas hidup layak hingga sekup kabupaten/kota. Adapun upah minimum sektoral, seperti di sektor pertambangan dan perkebunan, dihapuskan dalam RUU Cipta Kerja.
Kedua, memangkas pesangon buruh yang di-PHK. Nilai pesangon bagi pekerja dalam omnibus law turun karena pemerintah menganggap UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan tidak implementatif. Ketiga, penghapusan izin atau cuti khusus yang tercantum dalam UU 13/2003. Penghapusan ini seperti tidak masuk kerja saat haid hari pertama, keperluan menikah, menikahkan, mengkhitankan, pembaptisan anak, istri melahirkan/keguguran dalam kandungan, hingga anggota keluarga dalam satu rumah yang meninggal dunia.
Ketiga mengenai nasib dan status kerja para buruh outsourcing semakin tidak jelas dalam omnibus law. Pekerja alih daya atau outsourcing yang sebelumnya diatur pasal 64 dan 65 UU Ketenagakerjaan dihapus. Kedua pasal tersebut mengatur bahwa perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerja kepada perusahaan yang lain melalui perjanjian penyediaan jasa pekerja/buruh secara tertulis. Penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain dilaksanakan melalui perjanjian pemborongan pekerjaan yang dibuat secara tertulis.
Pasal 90 UU Ketenagakerjaan dihapus pada RUU Cipta Kerja. Padahal klausul ini mencantumkan sanksi bagi para pengusaha yang melanggar ketentuan upah minimum.
Lalu perubahan pada Pasal 151 UU Ketenagakerjaan juga akan menghilangkan peran serikat buruh dalam melakukan negosiasi pemutusan hubungan kerja (PHK) dengan pihak perusahaan.
Terdapat juga pasal bermasalah yang mengatur soal lingkungan hidup.
Pasal 88
Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) dapat menjerat pelaku pembakar hutan dan lahan (karhutla) tetapi pemerintah menghapusnya di RUU Cipta Kerja. Bunyi pasal 88 UU PPLH adalah, “Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan".
Pasal 93
Pemerintah dikritik karena ada upaya penghapusan partisipasi publik. Pasal 93 ayat (1) menyatakan “Setiap orang dapat mengajukan gugatan terhadap keputusan Tata Usaha Negara."
Namun, pada RUU Cilaka hanya ditulis, “Pasal 93 dihapus".
Pasal Bermasalah Tentang Pers di RUU Cipta Kerja.
Pasal 18
perubahan juga terjadi pada pasal 18 UU pers. Point pertama, setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun atau denda paling banyak Rp. 500 juta.
Berubah menjadi, setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp. 2 milliar.
Poin kedua, perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 13 dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp500 juta, berubah menjadi perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 13 dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp. 2 milliar.
Kemudian, point ketiga perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 9 ayat (2) dan Pasal 12 dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp. 100 juta, berubah menjadi perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 9 ayat (2) dan Pasal 12 dikenai sanksi administratif.
Pasal Bermasalah Tentang Pendidikan di RUU Cipta Kerja.
Pasal 51 ayat (1)
Pengelolaan satuan pendidikan formal dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan/atau masyarakat.
Pasal 62 ayat (1)
Syarat untuk memperoleh Perizinan Berusaha meliputi isi pendidikan, jumlah dan kualifikasi pendidik dan tenaga kependidikan, sarana dan prasarana pendidikan, pembiayaan pendidikan, sistem evaluasi dan sertifikasi, serta manajemen dan proses pendidikan.
Pasal 65
(1) Pelaksanaan perizinan pada sektor pendidikan dapat dilakukan melalui Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini.
(2) Ketentuan lebih lanjut pelaksanaan perizinan pada sektor pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 71
Penyelenggara satuan pendidikan yang didirikan tanpa Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp.1.000.000.000.
Keberadaan pasal pasal ini sama saja dengan menempatkan pendidikan sebagai komoditas yang diperdagangkan untuk mencari keuntungan, hal ini bertentangan dengan semangat memberikan pencerdasan bagi bangsa kita.
Hal hal tersebut merupakan suatu hal fundamental. Akan sangat berbahaya bagi seluruh sektor jikalau hal ini tetap dilanjutkan. UU Cipta Kerja ini akan menjadi mesin pembunuh paling mematikan.
Atas situaisi tersebut Aliansi Mahasiswa Kalimantan Timur (MAHAKAM) yang tergabung dalam berbagai elemen organisasi akan melakukan aksi besar-besaran di Kalimantan Timur.**
Reporter : Ricardo Richard.
Editor : Adhar.