Bisnis Imperialisme : Nasib Indonesia Dalam Pusaran Geopolitik
Dari jaman kerajaan di Nusantara tercatat lebih dari 3 negara yang "ngebet" pada tanah subur di garis khatulistiwa. Mongol, Portugis, Belanda, Jepang dan yang terakhir Amerika. Surga limpahan kekayaan alam itu kini bernama Indonesia. Negara tersebut terakhir berambisi menguasai secara "malu malu kucing". Sedangkan 4 negara sebelumnya secara terang terangan ingin merebut dengan cara perang. Imperialisme dimanpun selalu signifikan dengan bisnis kekayaan alam. Indonesia dengan anugrah kelengkapan kekayaan alam yang tak dimiliki negara lain di dunia senantiasa menjadi incaran penjajahan dalam bentuk apapun.
Dalam perkembangannya kini Imperialis tumbuh menjadi bisnis ekonomi. Amerika menjelma menjadi Imperialis berbagai bentuk demi mengeruk keuntungan materi di negara tujuan jajahannya. Salah satunya mineral emas. Kiblat explorasi emas Amerika sedari dulu tak pernah alpa dengan Indonesia. Apalagi setelah habisnya " brangkas emas" Venezuela, membuat Amerika tak bisa move on dari Papua dan Indonesia. Lantas apa pengaruhnya terhadap masa depan Indonesi kelak. Menurut penulis yang bukan pengamat ini mencoba menyampaikan prespektif subyektif berdasarkan bacaan sejarah
Jika ingin kondisi Politik dalam negeri stabil, jadilah antek Amerika. Tidak bisa dipungkiri bahwa masa keemasan kestabilan politik dan ekonomi Indonesia terjadi di masa Orde baru, dimana Soeharto mencengkramkan rezimnya selama 32 tahun. Apakah kemudian Soeharto otomatis menjadi antek Amerika? Bisa benar bisa pula tidak sepenuhnya benar.
Tragedi G30S PKI yang berujung penggulingan Soekarno banyak rumor yang terang terangan menjelaskan adalah hasil konspirasi Amerika dan sekutunya. Sebegitu bernafsunya Amerika ingin “bermain” di Indonesia pada masa itu tak lepas dari keras kepalanya Soekarno yang menolak investasi Amerika di bumi pertiwi. Irian Jaya yang disebut ilmuwan Amerika sebagai pulau emas adalah sumber masa depan Amerika. Namun sayangnya Soekarno sudah faham sumber kemakmuran, itu jauh sebelum ilmuwan Amerika tercengang mengetahui cadangan emas terbesar di dunia ada di Papua. Bujuk rayu pada Soekarno tak mempan sedikitpun, hingga Amerika geram. Alhasil Soekarno tumbang di tangan Panglimanya sendiri atas “ide kretifitas” Amerika.
Soeharto melanggeng tanpa lawan. Indonesia menjadi anak emas Amerika di tangan Soeharto. Freeport dikeruk tiada henti. Orde baru terlena berfoya foya atas pembagian hanya 1% dari royalty exploitasi gunung emas yang memanjang ribuan kilometer. Politik ekonomi relative aman terkendali dibawah tangan dingin Soeharto. Kalaupun terjadi gejolak cukup diselesaikan secara sporadis represif.
Puncak kegelisahan rakyat Indonesia meledak di tahun 1998 saat era reformasi dan krisis moneter hampir terjadi bersamaan. Amerika sedikit khawatir akan situasi itu. Ancaman kelangsungan “surga Freeport” memaksa Amerika menciptakan situasi dilematis. 3 Presiden pemegang estafet orde baru dibuat pusing 12 keliling akan gejolak politik dan ekonomi yang berkesinambungan terjadi. Pertarungan elite politik antara yang menginginkan reformasi dan mempertahankan orde baru jilid 2, dimenangkan oleh sosok Perwira Militer yang tiba tiba muncul dari tikungan. Amerika syukuran 40 hari 40 malam. Missi has done, begitu kira kira isi undangan acara tumpengan pengangkatan Presiden Orba jilid 2.
Namun 10 tahun sungguh waktu yang singkat untuk Amerika menarik nafas lega. Diuar dugaan Jokowi muncul dari bawah tanah (bukan dari tikungan) memporak porandakan tatanan skenario Amerika. Jokowi bukan cuma keras kepala untuk urusan Feeport, tapi langsung menantang Amerika. Meminta hak royalty dengan jumlah fantastis. Jika tidak dituruti silahkan hengkang atau terpaksa dihengkangkan. 51% adalah angka impossible dalam logika ekonomi Amerika.
Secara normatif Jokowi pernah menyampaikan pandangannya pada persoalan Freeport. Dalam pertemuan bilateral dengan 2 Presiden Amerika, Obama dan Trumph menurut Jokowi tidak ada sekalimatpun yang menyebut krisis Freeport menjadi issue bilateral kedua negara. Freeport dalam pandangan Jokowi adalah murni urusan Investasi. Jika pada kenyataannya menjadi duri dalam daging sejak dulu sejatinya adalah "kecerobohan" kebijakan peng berkuasa terdahulu. Penguasa yang rakus akan pada gula gula Amerika dan itu bisa diselesaikan dengan kebijakan yang berkomitmen pada keadilan, bukan bisnis semata.
Namun bukan Amerika kalau tidak punya jurus 1000 tipu. Permintaan Jokowi dituruti hasilnya seperti yang kita nikmati bersama, situasi politik amburadul, persatuan retak, perselisihan bangsa tumpang tindih tak kunjung surut. Amerika tak peduli berapapun biaya yang harus dikeluarkan demi untuk melengserkan “si anak ajaib” bernama Jokowi. Demi Freeport, demi jutaan ton emas dan uranium yang belum sepenuhnya digali. Dan demi kemerdekaan semu di Indonesia.
Amerika bukan segalanya bagi Indonesia, namun segala penjuru bumi butuh Indonesia. Surga dunia sepanjang 1,9 juta kilometer persegi. Pusat berkumpulnya habitat laut terbesar di dunia. Gunung berlapis emas tak habis digali 3 generasi. Lautan minyak bumi di bawah tanah yang cukup untuk menghidupi separuh penghuni bumi. Pusat kayu kayu terbaik di dunia yang selalu tumbuh tak perlu ditanam.
Kadang kita lupa memiliki itu semua, karena sibuk bertikai tentang Ideologiku yang paling bagus Ideologimu jelek. Tentang ras-ku yang paling unggul dan ras-mu paling pecundang. Tentang siapa kamu dan siapa aku. Tentang si kaya disanjung dan si miskin dinisbikan
… dan tentang Agamaku yang benar Agamamu salah.
Jangan pernah berhenti berfikir merdeka, sedetikpun berhenti kita sudah terjajah.
BISNIS IMPERIALISME : NASIB INDONESIA DALAM PUSARAN GEOPOLITIK Oleh Dahono Prasetyo