Hari Nelayan Nasional, DPD GMNI Sumut: Nelayan Bagaikan Anak Tiri
Foto : Ketua DPD GMNI Sumut, Daniel Sigalingging |
Medan Sumut, Sangfajarnews.com - Diperingatinya Hari Nelayan setiap 6 April 2021 lebih tragis dari istilah 'Seremonial Belaka', bahkan seperti hilang dari agenda nasional di Negara Republik Indonesia.
Berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikanan 2020, jumlah nelayan sebanyak 1.459.874 orang, atau 0,5% dari jumlah Penduduk Indonesia menggantungkan diri pada sektor ini.
Bahkan angka ini kemungkinan akan terus menurun dari tahun ke tahun, ketika masyarakat melihat bahwa profesi nelayan tidak dapat menjamin kesejahteraan hidup.
Bahkan menurut data Survei Sosio Ekonomi Nasional (SUSENAS) tahun 2017 yang dilakukan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Unpad, sebanyak 11,34% orang di sektor perikanan tergolong miskin, lebih tinggi dibandingkan sektor pelayanan restoran (5,56%), konstruksi bangunan (9,86%), bahkan pengelolaan sampah (9,62%).
Atas hal itu, DPD GMNI Sumut melalui ketuanya menyampaikan masih banyak kampung nelayan di Indonesia yang masih tergolong kumuh terutama di Sumut dan pemerintah masih terlihat acuh untuk memperhatikannya.
"Boleh dicek di Indonesia, atau secara khusus Sumut, perkampungan yang paling kumuh dan jauh dari sehat hampir dipastikan ada dikampung nelayan. Ini bukan hinaan, tapi sebuah fakta yang harus disajikan bahwa Pemerintah mengetahui hal ini, namun seolah nelayan bukan menjadi perhatian khusus hingga saat ini," ujar Daniel Sigalingging selaku Ketua DPD GMNI Sumut.
Indonesia yang diketahui memiliki garis pantai terpajang kedua didunia, namun permasalahan mengenai kesejahteraabn serta pendapatan nelayan masih jauh dari harapan.
FAO memberikan data bahwa potensi sumber daya perikanan tangkap laut Indonesia mencapai sekitar 6,5 juta ton/ tahun dengan tingkat pemanfaatan mencapai 5,71 juta ton/ tahun. Sementara potensi lestari sumber daya ikan laut diperkirakan sebesar 12,54 juta ton/ tahun yang tersebar diperairan wilayah Indonesia serta perairan Zona Ekonomi Eksklusif.
Daniel menambahkan, seharusnya dengan luas perairan 5,8 juta km persegi yang meliputi laut teritorial seluas 300 ribu km persegi, luas perairan kepulauan hampir 3 juta km persegi, dan luas ZEE 2,5 juta km persegi, Pemerintah dapat memanfaatkan potensi yang dimiliki ini untuk memberikan kebijakan dan bantuan peralatan memadai kepada nelayan Indonesia.
"Dari persoalan alat tangkap yang peraturannya selalu berubah-ubah, menjadikan nelayan kesulitan. Seolah tidak ada kajian ilmiah yang mendalam mengenai dampak lingkungan yang dilakukan oleh nelayan. Bahkan pelarangan penggunaan berbagai alat tangkap yang dilakukan Pemerintah, tidak dibarengi dengan solusi dan pemberian alat tangkap yang layak digunakan oleh nelayan secara menyeluruh," tambah Daniel.
Lanjutnya, kata Daniel, belum lagi nelayan kecil yang harus bersaing dengan korporasi besar yang mengeruk kekayaan laut Indonesia secara membabi buta. Baik secara armada, alat tangkap, dan jumlah hasil tangkapan yang sangat jauh berbeda membuat nelayan kesulitan menjual hasil laut ke pasar yang lebih besar, bahkan tidak jarang harus menjual hasil kepada tengkulak.
Seharusnya Poros Maritim yang sebelumnya disampaikan oleh pemerintah harusnya mampu memposisikan nelayan di garis sejahtera, bukan hanya sebagai alat kampanye politik belaka.
Sesungguhnya, nelayan bukan hanya bisa sejahtera namun juga bisa menjadi aset nasional dalam mengembangkan sektor perikanan menjadi maju dan berjaya sebagai negara maritim.
"Hal ini tentu dapat terwujud apabila pemerintah melakukan kebijakan yang lebih mementingkan nelayan kecil seperti membuat regulasi yang melindungi nelayan kecil, dan memperhatikan kelayakan hidup nelayan meliputi armada dan alat tangkap, asuransi, pendidikan, kesehatan, dan pemukiman nelayan. Pemerintah juga bisa memberi batasan kepada Korporasi besar dalam mengeruk hasil kekayaan laut Indonesia," tutup Daniel.**
Reporter : Jn.
Editor : Adhar.