Capres Dalam Persiapan Pemilu 2024
Zainudin Karim : Mahasiswa Ilmu Hukum Kemasyarakatan (IHK), Program Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan |
Perhelatan politik nasional menuju Pemilihan umum tahun 2024 mendatang sudah mulai ramai di kalangan masyarakat indonesia, dengan berjalanya waktu aksi dan reaksi yang terjadi di antara kubu-kubu yang akan memasuki ring pertempuran. Melihat kondisi saat ini, berbagai kubu-kubu sudah mulai menjalankan konsolidasi kekuatan, sebab di tahun ini dan pada awal tahun depan tentunya akan menjadi salah satu fase tersibuk oleh berbagai partai politik. Selain harus menyiapakan diri dengan prosedur pemilu legislatif, juga harus cerdas dalam mempererat hubungan politik antara kekuatan untuk mematangkan pengusungan calon presiden dan calon wakil prrsiden yang akan menjadi figur resmi di Pemilihan presiden 2024 mendatang. Kecerobohan dalam memposiaikan diri dan mengambil tindakan tentunya akan berdampak pada kedudukan mereka pada masa yang akan datang.
Paska menjelang pemilihan tinggal hitungan bulan tentunya narasi dan komunikasi yang dilakukan oleh para elite-elite politik membawa perubahan yang dirasa seperti adanya faktor kepentingan kekuasaan semata. Pemilu 2024 yang dilakukan secara serentak baik dari kabupaten kota sampai dengan tingkat nasional atau yang dikenal dengan pemilihan mpreaiden pada tulisan ini menjelaskan bahwa perubahan yang terjadi sudah menghebokan sampai pada lapisan masyarakat bawah. Bahkan pola-pola yang mainkan oleh politikus sudah mperlihatkan permainan politik dalam persiapan pemilu mendatang. Bahkan presiden yang sudah menjabat 2 periode dalam di indonesia , akhirnya sudah mulai melakukan Gerakan dalam membuat dinamika politik persiapan pemilu, dari hadirnya dalam ulang tahun Partai Golkar serta ulang tahun Partai Perindo beliau menunjukan beberapa hubungan politik yang menjadi pemicu dari dinamika persiapan pemilu. Dalam penentuan capres dan cawapres di Partai Politik, hubungan yang terbangun atau yang diciptakan itu tentu memperlihatkan bahwa Tahun Politik sudah dimulai.
Pada saat PDIP sudah mendeklarasikan Capresnya, NasDem dan partai lainnya sudah mulai sahutan narasi pro dan kontra, presiden 2 periode itu dalam kehadirannya di HUT Partai Golkar membuat komunikasi untuk hati-hati dalam memilih Capres, serta meminta untuk jangan terlalu lama mendeklarasikan Capresnya, kemudian dalam HUT Perindo, presiden 2 periode itu juga sempat membuat kode untuk Prabowo yang mengatakan 2024 adalah jatah Prabowo untuk menjadi Presiden. Dari hal ini sudah bisa kita ketahui tentang hubungan politik yang dibangun oleh para politikus, membuat dinamika politik persiapan pemilu 2024 sangat berdinamika. Terlepas dari dinamika politik yang terjadi, kita sebagai masyarakat berhak dan wajib untuk menjaga kedaulatan dengan mengawasi dinamika politik yang dibangun oleh elit politik partai. Dinamika yang terbangun sampai tingkat bawah sudah jelas ini mempengaruhi kedalam inti masyarakat. Dinamika politik yang seharusnya membawa kepentingan masyarakat dalam memenuhi kebutuhannya, bukan menjadi kepentingan sebagian kelompok elit politik saja.
Konsolidasi yang dibangun seharusnya bisa memeriahkan pesta demokrasi pada tahun 2024 nantinya, dengan mengawal pergerakan partai politik serta elit politiknya, kita sudah bisa membuat suatu keputusan untuk kedepannya agar pemimpin yang dipilih oleh masyarakat Indonesia sendiri itu bisa membawa kepentingan dan kebutuhan masyarakat Indonesia itu sendiri. Kini partai politik wajib untuk mendayung pada harapan-harapan publik yang saat ini terlihat dari opini publik yang sedang berkembang, serta kepentingan partai lainnya, dengan demikian kepentingan politik mereka sendiri. Pelan-pelan tapi pasti, politik yang dulunya sangat ambruk kini mereka mulai membuat strategi yang harus dipahami secara teliti oleh elite-elite partai. Tahap pemunculan ini pastinya dikelola oleh mereka yang mau menjadi capres/cawapres melalui basis struktur partai, tim sukarelawan, konsultan, lembaga survei, ataupun jurnalis media massa dan warganet di media sosial.
Dalam hal ini juga opini publik telah membentuk pola. Opini terkonsolidasi pada mereka yang pro ataupun kontra. Masyarakat mengonsolidasikan diri menjadi pendukung, penentang, ataupun pihak yang belum menentukan pilihan. Jika melihat tren belakangan, berbagai survei opini publik oleh sejumlah lembaga survei menguatkan beberapa nama sebagai figur paling potensial untuk masuk ke gelanggang pertarungan. Sebagai contoh, jajak pendapat Litbang Kompas periode 24 September-7 Oktober 2022 menunjukkan tingkat elektabilitas Ganjar Pranowo mencapai 23,2 persen. Elektabilitas Prabowo Subianto di posisi kedua dengan 17,6 persen. Sementara Anies Baswedan berada di urutan ketiga, yaitu sebesar 16,5 persen. Ketiga nama itu kini selalu berada di urutan teratas meski dengan persentase yang bervariasi dan posisi urutan yang bersaing satu sama lain di sejumlah lembaga survei lainnya. Dari keacakan nama, opini mulai bisa dipolakan dan bisa menjadi bahan pertimbangan untuk pengambilan keputusan. Opini dan biasanya telah memunculkan mapan atau tetapnya opini publik di masyarakat. Kemungkinan mulai awal hingga pertengahan tahun depan opini soal kandidasi ini akan solid.
Setelah paket ”kuda pacuan” capres- cawapres terdaftar secara resmi di KPU, opini publik kembali akan membentuk tahapannya lagi. Publik nanti akan merespons dengan memperbincangkan tiap-tiap paket pasangan, dan biasanya mulai terkonsolidasi di saat masa kampanye. Probabilitas perolehan suara sudah mulai bisa dihitung meskipun tentu bukan proses yang linear. Selalu muncul kejutan seiring dengan manajemen isu dan konflik yang dilakukan tiap-tiap pihak yang berkepentingan. Pada level tertentu, opini publik pun kembali akan solid dan potensi kemenangan bisa dipetakan menjelang hari pemilihan. Opini publik ini bisa menjadi sinyal untuk parpol tentang bagaimana seharusnya mereka merespons kehendak publik yang berkembang. Benar, bahwa opini sebagai respons aktif terhadap stimulus tidak akan pernah berada di ruang hampa. Selalu ada proses mengonstruksi opini oleh para pihak berkepentingan. Ada proses konstruksi yang menarik perhatian kemudian bisa dikonversikan menjadi hasrat, ketertarikan, penerimaan, dan dukungan, tetapi juga tak sedikit yang hanya direspons ala kadarnya oleh publik. Jika memaksakan nama yang bukan magnet elektoral menjadi capres ataupun cawapres, tentu akan jadi masalah serius dalam memenangi kompetisi.
Kejadian yang sama bisa kita lihat di Koalisi Indonesia Bersatu (KIB). Politisi PPP, PAN, dan Golkar dari samar menjadi lebih eksplisit menyebut sejumlah nama, antara lain Ganjar, Ridwan Kamil, hingga Airlangga Hartarto. Tak ketinggalan, Gerindra dan PKB pun kian intens mematangkan rencana koalisi. Hal ini turut mengakselerasi dinamika figur ke arah yang lebih terpola. Jika tak ada faktor luar biasa yang merusak situasi, kemungkinan parpol akan menjadikan pendekatan ilmiah membaca opini publik ini sebagai salah satu referensi dalam memutuskan pilihan. Politik kerap terhubung dengan persepsi sehingga pengelolaan narasi sangat penting. Narasi bukan sekadar kata-kata, melainkan juga tindakan simbolik yang akan diinterpretasi oleh ragam pihak. Partai ataupun capres/cawapres harus menempatkan narasi tak semata memiliki nilai dan daya ikat emosional, seperti bicara tentang sisi personal figur capres/cawapres, tetapi juga nilai fungsional, yakni terkait gagasan dalam mengatasi ragam persoalan negeri ini.
Masalah inflasi, dampak geopolitik, polarisasi di masyarakat, penegakan hukum, dan sejumlah permasalahan lain membutuhkan respons elite partai dan para kandidat di Pilpres 2024. Benang merah gagasan untuk mengatasi persoalan kebangsaan saat ini dan ke depan harus diresonansikan. Kepaduan antara narasi dan karakter pembawa narasi juga sangat menentukan. Pun demikian titik temu antara narasi dan kebenaran faktual yang terjadi di masyarakat, akan membuat kandidat, baik capres/cawapres maupun partai politik, layak dipertimbangkan sebagai bagian dari solusi bangsa. Menghadirkan capres/cawapres ke dalam kesadaran publik itu bukan perkara mudah. Tak cukup menggunakan pendekatan linear lewat beragam publisitas di media massa dan medsos. Para elite harus datang, menyapa warga, membangun interaksi, mendengarkan dengan kejernihan hati dan pikiran apa yang jadi keluh kesah mereka, serta memformulasikan masukan mereka menjadi suatu benang merah gagasan dan program yang patut untuk di dukung.
Penulis : Zainudin Karim
Mahasiswa Ilmu Hukum Kemasyarakatan (IHK)
Program Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan
Universitas Negeri Gorontalo