Isu Politik Identitas Menjelang Pemilu 2024

Wahyudin Buheli : Mahasiswa Ilmu Hukum Kemasyarakatan (IHK), Program Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan

Tinggal beberapa bulan lagi kita akan dihadapkan oleh pemilu tahun 2024, Oleh karena itu ada banyak hal yang perlu diperhatikan pemerintah dan masyarakat sejak sekarang. Salah satunya memastikan agar pemilu tidak diwarnai dengan politik identitas seperti apa yang sedang hangat dibicarakan saat ini, Sebelum masuk terlalu jauh kita perlu mengetahui terlebih dahulu apa itu politik identitas?

Politik identitas merupakan aliran politik yang melibatkan seseorang atau kelompok masyarakat yang memiliki kesamaan karakteristik, seperti suku, agama, etnisitas, gender, dan jenis kelaminnya.Politik identitas juga bisa dimaknai sebagai aktivitas yang menjadikan identitas, baik agama, etnis, kebudayaan maupun bahasa, sebagai metode atau strategi guna memperoleh suatu kekuasaan tertentu, Oleh karena itu alasan mengapa isu mengenai politik identitas menjelang pemilu tahun 2024 perlu mendapat perhatian khusus oleh pemerintah dan masyarakat.

Pada Pemilihan Umum tahun 2024 mendatang diperkirakan masih akan menghadirkan isu-isu politik identitas seperti yang terjadi pada pemilu pada tahun 2019 lalu. Isu-isu politik identitas yang lahir dari berbagai macam faktor seperti ras, agama, suku, etnis, gender dan budaya besar kemungkinan para petinggi-petinggi partai politik akan kembali memanfaatkan isu tersebut untuk mendapatkan dukungan dari kelompok-kelompok tertentu. Dalam hal ini, partai politik dengan kader-kader yang mereka andalkan pada pemilu 2024 nanti akan menonjolkan identitas-identitas tertentu untuk menarik dukungan dari berbagai macam kelompok yang memiliki identitas yang sama dengan mereka.

Pada era sekarang ini semakin sedikit pasangan calon, maka polarisasi yang akan ditimbulkan pun semakin kuat, contohnya seperti yang terjadi pada pemilu tahun 2019 lalu pada saat itu hanya ada dua pasangan calon yang mendaftarkan dirinya untuk maju sebagai bakal calon presiden. Hal ini diperkuat dengan politik identitas yang juga digunakan untuk menyerang calon masing-masing dengan sentiment tertentu.

Saat ini politik identitas yang dikenal oleh masyarakat umum merupakan sesuatu yang tidak baik sehingga mendapatkan perhatihan yang khusus baik bagi pemerintah maupun masyarakat. bagaimana tidak, politik identitas pada masa sekarang ini lebih mengutamakan pada kepentingan partai contohnya seperti promosi politik yang lebih memprioritaskan identitas dari pada gagasan yang dibawakan oleh suatu partai politik. Dampak buruk yang dapat ditimbulkan dari politik identitaspun sangatlah besar, Para paslon-paslon yang nantinya akan bertarung pada pemilihan umum 2024 hanya akan berfokus untuk mengusung politik identitasnya masing-masing ketimbang menunjukan kualitas serta kebijakan yang akan mereka tawarkan apabila terpilih nanti.

Mendekati pemilu 2024 nanti banyak Partai-Partai politik yang sudah mendeklarasikan tentang identitas mereka kepada masyarakat umum dengan tujuan agar masyarakat tahu tentang tujuan serta pendoman bagi partai tersebut, Biasanya hal ini dilakukan oleh partai politik yang baru berdiri contohnya seperti yang terjadi pada Partai Ummat. Partai Ummat didirikan pada tanggal 28 april 2021 yang bertepatan pada 17 Ramadhan 1442 H. Dengan usia yang masih sangat muda jadi mendorong Partai Ummat untuk lebih sering memperkenalkan tentang partai yang mereka dirikan ini kepada masyarakat umum. Hal ini dibuktikan dengan deklarasi yang disampaikan oleh ketua umum Partai Ummat yaitu Ridho Rahmadi yang secara terang-terangan mengatakan bahwa Partai Ummat merupakan partai politik identitas, menurut Ridho tanpa hadirnya moralitas dalam beragama maka politik akan kehilangan sebuah arah serta akan terjerumus dalam moralitas yang relative dan etika yang situasional.

Dalam aktivitas berpolitiknya pun Partai Ummat sering menonjolkan isu-isu keagamaan dan mendukung kebijakan-kebijakan yang pro terhadap Islam contohnya penghapusan pornografi dan judi, serta dalam penerapan hukum menggunakan hukum syariah Islam. Dengan prinsip yang melekat kental pada Partai Ummat ini maka tidak heran jika menimbulkan pro dan kontra bagi khalayak umum.beberapa kritikus menyatakan bahwa Partai Ummat cenderung memperkeruh isu-isu identitas dan memperluas kesenjangan sosial yang terdapat di dalam lapisan sosial masyarakat.

Padahal seharusnya politik identitas tidak perlu dipersoalkan apabila digunakan sebagai alat untuk menyadarkan umat Islam agar bersama-sama dalam menjaga Indonesia, selagi politik identitas ini tidak dimaknai dengan cara yang lain seperti provokasi dan penyebaran kebencian, maka hal tersebut tidak perlu untuk dikampanyekan karena dapat mengganggu kesenjangan sosial pada masyarakat. Apalagi identitas dalam berpolitik adalah sesuatu yang tidak dapat dipisahkan dari Partai Politik karena pada dasarnya parpol harus memiliki identitas agar dapat mewakili orang-orang yang memiliki identitas yang sama dengan mereka.

Apalagi Indonesia merupakan sebuah negara yang memiliki masyarakat majemuk jadi perbedaan identitas juga harus dianggap sebagai suatu kekayaan, bukan sebagai sumber konflik. Politik identitas dapat menjadi hal yang positif jika digunakan untuk memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa. Tetapi, jika digunakan untuk kepentingan politik sempit dan memecah belah masyarakat, maka politik identitas dapat menjadi sumber konflik dan ketidakstabilan.

Oleh karena itu ada tiga cara yang dapat meminimalisir pemilu 2024 dari isu identitas politik. Pertama, minimal harus ada 3 pasang calon presiden, sehingga ada pemecah gelombang agar tidak terulang kembali kontestasi “rematch” Pilpres 2014 dan 2019 dengan kekuatan “head to head” (bipolar) bertumpu pada dua kutub pasangan calon presiden. Kedua, harus ada penegakan hukum yang adil “tanpa diskriminatif” terhadap para buzzer politik, tim sukses, relawan maupun calon presiden apabila terbukti mengunakan/mengoreng politik identitas dijadikan sebagai komoditas politik, mesti ada sangsi yang keras dan tegas berupa pidana dan pemotogan masa waktu kampanye agar ada efek jera. Ketiga, harus ada “konsensus” dan komitmen bersama untuk “tidak” lagi mengunakan “narasi politik identitas” dan isu-isu “SARA” yang jelas merusak tatanan simpul kehidupan berbangsa dan bernegara.

Penulis : Wahyudin Buheli 

Mahasiswa Ilmu Hukum Kemasyarakatan (IHK)

Program Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan 

Universitas Negeri Gorontalo


Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url