Kontroversi Politik Identitas
Pratiwi Ama : Mahasiswa Ilmu Hukum Kemasyarakatan (IHK), Program Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan |
Wacana politik identitas (identity politics) Dalam beberapa waktu belakangan ini, tentu sangat menghebokan jagat media daring maupun cetak di Indonesia, sebab dari sekian banyaknya warga masyarakat kerap memperbincangkan hal tersebut. Selain itu Wacana ini kemudian menggiring berbagai macam kontroversi mengenai boleh tidaknya sebuah kelompok menggunakan politik identitas, atau apa kaitan antara politik identitas dengan politik praktis. Terkait Kontroversi politik identitas sebenarnya berawal dari perbedaan dalam menafsirkan atau memahami konsep dan menempatkan konteks. Konteks tersebut tentunya mencakup konteks ruang dan waktu, serta kondisi yang melatarbelakangi. Sebagai suatu konsep, politik identitas tidak bisa dipisahkan dari konteksnya, oleh karenanya kontekslah yang bisa menjadi pedoman dalam pemaknaan dan pemahaman atas suatu konsep. Dengan demikian maka, mengabaikan konteks dari konsep politik identitas sama halnya dengan melahirkan kembali pemahaman yang baru dan tentunya keliru dan juga sesat terhadap konsep-konsep itu sendiri.
Seperti yang kita ketahu bahwa didalam bidang ilmu sosial dan humaniora, politik identitas dimaknai sebagai kendaraan yang membawa aspirasi atau pendapat mengenai tuntutan kepentingan politik dan ideologi politik. Bahkan dimenstimulasi bahwa menggerakkan aksi-aksi untuk meraih atau memperoleh tujuan politik tertentu. Politik identitas mengkapitalisasi ras, suku bangsa, bahasa, adat, gender bahkan termasuk didalamnya agama sebagai mereknya. Politik identitas biasanya dimanfaatkan oleh kelompok minoritas maupun marjinal dalam upaya melawan ketidakadilan atau ketimpangan sistem. Gunanya untuk menyuarakan aspirasi kelompok pengusung politik identitas, distingsi seperti kesukuan, gender dan agama ditunjukkan secara eksplisit dan intensif.
Ada berbagai macam contoh politik identitas melalui gerakan sosial politik dapat ditemukan di dalam maupun luar negeri yakni diantaranya adalah: gerakan Afro-Amerika yang mengklaim persamaan ras, gerakan LGBT yang menuntut legalitas same sex marriage di beberapa negara Barat, gerakan kelompok adat yang memperjuangkan hak pengelolaan tanah ulayat, gerakan gender yang memperjuangkan kesetaraan dan keadilan dalam ketenagakerjaan, dan lain lain. Dari ilustrasi di atas, dapat ditarik kesamaan bahwa: pertama, politik identitas memuat makna dan tujuannya masing-masing, sesuai konteks geografis, kultural, temporal, maupun sosialnya. Kedua, gerakan politik identitas diusung oleh kelompok yang termarjinalisasi atau tidak mendapatkan hak yang setara dengan kelompok mainstream.
Tentunya dari berbagai macam tulisan opini terkait politik identitas di Indonesia tentu memiliki berbagai macam kesalahpahaman konseptual yang perlu diklarifikasi, yakni diantaranya: pertama adalah Politik identitas bisa dimainkan oleh kelompok mayoritas, kemudian yang ke dua adalah Politik kebangsaan juga mengusung politik identitas, dan yang terakhir adalah Politik praktis sebenarnya juga merupakan politik identitas. Klarifikasi dari kesalahpahaman di atas adalah sebagai berikut. Pertama, politik identitas tidak lazim dimainkan oleh kelompok mayoritas yang sebenarnya memiliki akses lebih atau bahkan privilege dibandingkan kaum minoritas. Perlu dicatat, politik identitas oleh kelompok minoritas kerap memanfaatkan dan memperlihatkan posisi sebagai korban (playing victim) dari sistem yang represif yang dijalankan oleh kelompok mayoritas. Bagaimana mungkin kelompok mayoritas dengan privilege kemudian mem-frame diri sebagai korban, aneh bukan?
Kaita pasti tahu bahwa Kedua, politik identitas berbeda dengan politik kebangsaan. Mengapa demikian karena politik kebangsaan memahami keberadaan kelompok mayoritas dan minoritas. Namun, haluan politik ini bertujuan untuk mengakomodasi agar kedua kelompok menjadi inklusif. Hal ini juga tentunya berbeda dengan politik identitas, dimana salah satu kelompok menuntut hak ekslusif. Dalam kacamata politik kebangsaan, keutuhan persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia adalah di atas segalanya. Setiap warga dari latar belakang sosial, kultural, agama apapun memiliki hak dan kewajiban yang setara untuk berpartisipasi dalam politik. Sebaliknya, dalam perspektif politik identitas, pemenuhan hak satu kelompoklah yang menjadi tujuan utamanya, yang justru bisa menimbulkan ketegangan atau bahkan perpecahan antar berbagai macam kubu.
Selain itu ketiga politik praktis belum tentu membawa politik identitas. Dikarenakan sebuah fitrah bahwa pelaku politik praktis adalah anggota masyarakat dengan kesamaan identitas tertentu, misal: kesamaan visi misi politik, kesamaan geografis, kesamaan agama, dll. Namun, hal ini tidak serta-merta menjadikan setiap praktik politik sebagai gerakan politik identitas. Kapan sebuah politik praktis menjadi gerakan politik identitas? Yaitu ketika afiliasi kesukuan, keagamaan, atau ras dijadikan komoditas untuk memobilisasi pengaruh perilaku pemilih. Preferensi objektif terhadap calon pemimpin yang memiliki kapasitas mumpuni kemudian menjadi terdistorsi oleh sentimen kesukuan atau keagamaan itu. Sebagai contoh, calon pemimpin yang tidak kompeten namun seiman lebih dipilih daripada calon pemimpin yang kompeten tapi berbeda keyakinan. Acapkali, politik identitas memanipulasi doktrin agama untuk mendiskriminasi dan menyudutkan pemilih seagama yang menyalurkan aspirasi politik yang tidak sama.
Bahkan secara pundamental politik identitas seringkali disalahpahami sebagai bagian dari politik praktis atau bahkan merupakan politik kebangsaan. Yaa Memang kesamaan identitas menjadi pemersatu bagi anggota suatu kelompok atau (in group unity). Namun, didalam konteks kebangsaan Indonesia yang majemuk, menonjolkan identitas kelompok secara dominan justru dapat menjadi potensi ancaman bagi persatuan dan kesatuan bangsa (nation unity). Nah hal inilah yang kemudian menjadi pembeda antara politik identitas dengan politik kebangsaan, sebab yang satu ingin meraih tujuan eksklusif kelompoknya sendiri, sedangkan yang lain bertujuan untuk meraih tujuan inklusif bagi kehidupan bersama-sama.