Memgentalnya Politik Dinasti
Novia Klaudia Marhum : Mahasiswa Ilmu Hukum Kemasyarakatan (IHK), Program Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan |
Seperti yang kita tahu bersaba bahwa politik kekerabatan di tingkat lokal merupakan buah dari pelaksanaan demokrasi prosedural. Dalam demokrasi prosedural diandaikan bahwa semua masyarakat bisa mengakses kekuasaan dan pemerintahan secara bebas, fair, dan demokratis.
Mengandaian ini dalam batas minimal sudah tercapai. Maksudnya semua golongan dan semua profesi memiliki kesetaraan dalam mencalonkan diri sebagai kandidat kepala daerah. Bahkan, Mahkam Konstitusi memberikan ruang kepada masyarakat untuk berpartisipasi dalam bursa kepala daerah melalui dua jalur: jalur partai politik atau gabungan partai politik dan jalur peseorangan/independen. Meskipun MK sudah melegalkan dua jalur pencalonan dalam pilkada langsung, namun MK tidak bisa memprediksikan bahwa pilkada langsung akan menyuburkan politik kekeluargaan dan politik dinasti. Mengentalnya politik kekeluargaan dalam pilkada langsung akan membahayakan proses demokrasi yang sedang berlangsung. Karena itu, perlu dicarikan jalan keluarnya agar demokrasi lokal bisa tumbuh dan berkembang. Pertama, memperkuat peran partai politik melalui sistem kaderisasi yang melembaga. Partai politik diharuskan bisa mencetak politisi/kepala daerah yang berkualitas tinggi. Politisi/kepala daerah yang dihasilkan melalui proses karir berjenjang dan terukur akan memiliki kapasitas politik yang lebih baik dibandingkan kader-kader yang diorbitkan secara instan atau yg lebih di kenal dengan sebutan kader pewaris jabatan.
Dampak besar ya tentunya senantiasa kita sering mendengar kepala daerah yang di bawah bayang-bayang suami ataupun ayahnya. Kepala daerah boneka. Meskipun suara sumbang seringkali muncul di media massa, namun fakta lapangan menunjukkan lain, yakni keluarga incumbent terus saja hadir dan terpilih dalam pilkada, Selain memobilisasi birokrasi daerah, para incumbent/petahana juga berusaha mengkooptasi lembaga masyarakat sipil yang ada di daerah masing-masing. Cara biasa yang dilakukan para incumbent/petahana untuk menundukkan penggiat LSM adalah dengan memberikan dana bantuan sosial serta menjadikan mereka sebagai tim sukses dalam pilkada. Tujuannya hanya satu yakni menjadikan LSM sebagai sarana mengumpul suara. Ketiga, kekayaan sebagai kekuatan dalam usaha membeli partai politik maupun suara pemilih.
Dalam bahasa Mohtar Mas’oed ketika perolehan suara itu bisa efektif dengan uang, maka hanya orang kaya mempunyai peluang dan mendominasi politik lokal (Kompas, 2006). Penjelasan Mas’oed tentu ada benarnya. Dalam pilkada langsung uang sangat diperlukan dalam membiayai proses politik. Mulai membayar uang mahar partai, membiaya kampanye, beriklan tv dan koran, membiayai lembaga survei sekaligus konsultan politik, membiayai parak saksi di TPS hingga memberikan uang kepada pemilih (Haboddin dan Syahdan, 2009). Dalamnya keterlibatan uang dalam pilkada menunjukkan bahwa hanya orang kaya dan memiliki kapital besar yang bisa berlaga. Karena itu, dalam pilkada langsung keterlibatan para incumbent yang kaya dan pengusaha selalu hadir dalam pentas politik lokal. Dalam bahasa Daniel Dhakidae dalam demokrasi elektoral justru memperkuat kehadiran politisi kaya dan hartawan (Dhakidae, 2014) dalam politik lokal. Tiga basis material tersebut saling terkait dalam usaha memburu dan mempertahankan kekuasaan politik. Kemampuan para keluarga petahana dalam mengoperasionalisasikan tiga basis material secara simultan memudahkan gerak langkah sang istri ataupun anak mereka untuk memperoleh jabatan kepala daerah. Tidak hanya itu, pemanfaatan struktur kesempatan melalui pemilihan langsung kepala daerah ikut mendorong semakin menguatnya politik kekerabatan dalam panggung politik lokal.
Selain itu politik dinasti disoroti oleh kompas sebagai persoalan politik kekerabatan/politik keluarga atau politik dinasti. Selama pelaksanaan pilkada serentak, wajah politik lokal berhasil disulap menjadi panggung keluarga para pejabat daerah. Dikatakan demikian, karena dalam pilkada langsung, sejumlah kepala daerah berhasil mendudukkan anggota keluarganya sebagai gubernur maupun bupati/walikota. Keberhasilan sejumlah kepala daerah dalam mendudukkan keluarganya di panggung politik lokal bisa dibaca sebagai kejelian mereka dalam menunggangi prosesi demokrasi prosedural yang sedang dirayakan. Kemampuan menfaatkan celah demokrasi prosedural melalui pesta politik yang bernama pilkada merupakan bukti bahwa pilkada langsung sangat ramah dengan para pejabat yang memiliki jaringan dan pemilik kapital. Dengan jabatannya—para ‘incumbent’/petahana berusaha menyusun strategi dalam kerangka mendudukan keluarganya dalam panggung politik pilkada serentak. Data yang dilansir Kemendagri menyebutkan sebanyak 57 kepala daerah yang berhasil mentransfer kekuasaan: dari suami kepada istri, dan dari ayah kepada putranya (Haboddin, 2015). (Kompas, 2010) Keberhasilan para kepala daerah dalam mentransfer kekuasaan kepada istri, anak, adik dan ipar merupakan strategi baru dalam mempertahankan dan melestarikan kekuasaan keluarga dalam pengelolaan pemerintahan daerah. Fenomena ini bisa disebut’ sebagai rezim keluarga di pilkada.
Hal ini tentunya dinilai bahwa Dinasti politik cenderung membuat pemerintahan tertutup dan tidak transparan yang menyebabkan pemerintahan tidak terkontrol dan minim pengawasan. Kemudian dinasti politik dapat melemahkan fungsi checks and balances, hingga berakibat praktik KKN (Korupsi Kolusi dan Nepotisme). Prinsip checks and balances merupakan prinsip yang menghendaki kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif memiliki derajat yang sama, dan saling mengontrol satu sama lain. Dengan prinsip checks and balances, kekuasaan negara dapat dikontrol, diatur, dibatasi sehingga dapat mencegah penyalahgunaan kekuasaan oleh aparatur negara (Sunarto, 2016). Dinasti politik dengan anggotanya yang menempati berbagai lini lembaga kekuasaan, tentunya akan lebih mudah untuk menjalankan praktik KKN atau korupsi, kolusi dan nepotisme.
Apabila di telusuri dan di cermati berdasarkan, UU yang mengatur tentang hal ini, yaitu pasal 7 huruf r UU Nomor 8 tahun 2015 tentang Pilkada yang kemudian kemudian dibatalkan oleh Mahkamah konstitusi melalui putusan MK nomor 33/PUU-XIII/2015. Pada Pasal 7 huruf r UU Nomor 8 tahun 2015 memiliki batasan yang jelas dan ketat untuk petahana, yang bertujuan untuk mengantisipasi praktik dinasti politik dan penyalahgunaan kekuasaan. Antisipasi ini bukan tanpa alasan, karena seringkali dengan kekuasaan yang dimiliki, petahana memanfaatkannya untuk keuntungan semata bagi keluarga atau kerabatnya. Misalnya, petahana bisa memobilisasi bawahannya untuk menciptakan persaingan terhadap para calon menjadi tidak seimbang dengan menggunakan akses kebijakan, alokasi anggaran, fasilitas, dan tunjangan yang dimilikinya. Sehingganya peraturan ini dimaksudkan untuk menciptakan kompetisi yang adil dan seimbang. Melihat relita lebih banyaknya dampak negatif yang timbul dari dinasti politik yang telah dijelaskan di atas. Peneliti mengaggap tetap perlu adanya kebijakan yang membatasi dinasti politik di Indonesia. Karena jika ini dibiarkan akan sangat berbahaya untuk kelangsungan pemerintah Indonesia, menciderai etika politik dan substansi demokrasi yang selama ini dianggap sebagai sistem pemerintahan yang berlaku di negara ini. Menurut (fajri dan idami 2017) dikatakan bahwa Peran partai politik dalam hal ini juga penting dalam melaksanakan pendidikan politik bagi masyarakat khususnya kadernya, juga untuk bertindak adil dan seimbang dalam mengajukan kandidat calon pejabat politik dengan mempertimbangkan integritas dan kapasitas calon bukan hanya keturunan, popularitas dan finansial.