Menjadi Pemili Pemuda Cerdas, Tolak Politik Identitas Menjelang Pemilu 2024
Muhammad Beni Dilapanga : Mahasiswa Ilmu Hukum Kemasyarakatan (IHK), Program Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan |
Politik identitas seringkali menjadi topik yang ramai diperbincangkan mejelang pemilu, karena politik identitas sangat sensitif terhadap pecahnya persatuan dan kesatuan bangsa. Oleh karena itu,diprlukan peran aktif generasi muda utuk bersma sama menolak politik identitas dalam Pemilu 2024, guna mewujudkan pesta demokrasi yang damai. Menjadikan agama, suku, ras sebagai senjata politik tentu saja merupakan hal yang berbahaya, sehingga kita berharap Pemilu 2024 di Indonesia dapat di selenggarakan secara demokratis dan rasional. Berangkat dari Pilgub Dki Jakarta pada 2017 lalu, kita dapat paham bahwa pengaruh politik identitas begitu besar. Efek langsung dari peristiwa ini tentu saja terasa pada Pilpres 2019, di mana banyak nuansa politik identitas yang bergerak di masyarakat, khususnya di media sosial. Dimna hal itu berbahaya karena bisa menimbulkan opini publik.
Menurut Muhtadi (2019) adanya fenomena politik identitas dengan populisme agama akan menjadi ranjau bagi demokrasi negara ketika digunakan oleh pemimpin yang tidak mampu. Politik identitas mengarah pada opini publik bahwa orang yang tidak memiliki identitas yang sama dengan mereka tidak pantas menjadi pemimpin. Hal ini tentu saja menyebabkan hilangnya persamaan hak bagi minoritas dalam pemerintahan nasional, khususnya di bidang pemilu dan pilkada. Dan dikhawatirkan lambat laun akan merusak demokrasi. Sejak Pilgub Dki Jakarta 2017, politik identitas kerap digunakan untuk mencari dukungan suara. banyak hoax dan ujaran kebencian berbau sara yang ditunjukan kepada salah satu bakal calon, dengan harapan lawan politik kehilangan dukungan dari masyrakat. Masalahnya, ketika isu-isu ini sampai ke calon pemilih yang kurang informasi dan mudah dipengaruhi, kemungkinan besar calon dari kaum minoritas ini akan kehilangan aspirasi dari dari rakyat. Sekalipun karir dan prestasi calon cukup mumpuni untuk menjadi pemimpin atau wakil rakyat.
Lantas apa dampak dari politik identitas itu sendiri ? Menurut Aryojat (2020), maraknya isu populisme dalam politik identitas mengancam persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. Menggunakan isu-isu agama untuk mendapatkan dukungan politik merupakan celah besar yang dapat menyebabkan oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab untuk memecah belah Indonesia Jika hal ini terus berlanjut, semangat persatuan dan kesatuan yang rendah akan memperbesar kemungkinan terjadinya polarisasi masyarakat bahkan elit politik.
Politik identitas berbasis agama yang digunakan dalam kampanye politik juga menimbulkan perpecahan antar kelompok agama di Indonesia. Tekanan kuat dari kelompok agama radikal di Indonesia secara tidak langsung berdampak negatif bagi pemeluk agama lain. Pendukung kelompok minoritas merasa didiskriminasi, sehingga menimbulkan perpecahan antar umat beragama. Berangkat dari pengalaman pemilu serentak tahun 2019, tidak menutup kemungkinan isu tersebut akan muncul kembali pada pilkada 2024 mendatang. Peristiwa masa lalu memiliki peluang besar untuk terus digunkan kelompok radikal demi kepentingan pribadi. Hal yang sama berlaku untuk kelompok yang ingin membagi Indonesia menjadi mayoritas dan minoritas.
Menghilangkan praktik politik identitas merupakan salah satu PR penting buat Indonesia menjelang Pemilu 2024. Hal itu penting terutama karena terkait erat dengan persamaan hak, persatuan dan kesatuan masyarakat, serta prinsip demokrasi. Selain itu, masalah sara cukup sensitif untuk dijadikan alat kampanye. Sebagai negara multikultural dan demokratis, sudah selayaknya semua orang memiliki hak yang sama dalam pemilu. tidak hanya Orang Jawa bisa menjadi kepala negara, tetapi orang luar jawa juga bisa menjad pimpinan kepala negara. Tidak hanya Muslim tetapi juga non-Muslim bisa menjadi pimpinan kepala negara. Dalam arti bahwa hak seseorang untuk menjadi pemimpin atau wakil rakyat tidak hanya didasarkan pada agama, suku,ras, etnik, melainkan pada kemampuan orang tersebut untuk memimpin dan mengayomi masyarakatnya.