Serangan Fajar Atau Bagi-Bagi Rezeki Menjelang Pemilu
Serina Rahmat : : Mahasiswa Ilmu Hukum Kemasyarakatan (IHK), Program Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan |
Lawan terberat dalam setiap penyelenggaraan pesta demokrasi, baik di tingkat lokal maupun nasional di Indonesia adalah praktek politik uang. Istilah politik uang memiliki arti sebagai praktek jual beli suara pemilih oleh peserta pemilu, maupun oleh tim sukses, baik yang resmi maupun tidak, biasanya sebelum proses pemungutan suara dilaksanakan. Adanya gerakan politik uang inilah, Peserta pemilih tentunya akan kehilangan otonominya untuk memilih Para kandidat pejabat publik berdasarkan pertimbangan yang rasional atau dari hati nurani mereka sendiri, seperti kinerja, rekam jejak, dan program maupun janji kandidat pada saat kampanye sebab memilih kandidat hanya karena pemberian uang belaka. Politik uang (money politic) adalah tindakatn yang berupaya memengaruhi pilihan pemilih atau yg dikenal dengan (voters) atau penyelenggara pemilu dengan imbalan materi atau yang lainnya. Dari pemahaman tersebut, politik uang adalah salah satu bentuk suap. Setiap kali mendekati pemilu, para calon kepala daerah atau anggota legislatif mengumbar janji manis kepada masyarakat. Tidak jarang juga sebagian dari mereka menebar amplop berisikan uang atau bingkisan sembako. Dengan demikian secara sadar mereka telah melakukan politik uang, sebuah praktik koruptif yang akan menuntun ke berbagai jenis korupsi lainnya seperti korupsi yg di lalukan oleh para pejabat yang ter OTT dan sudah di proses hukum.
Praktik ini akhirnya memunculkan para pemimpin yang hanya peduli kepentingan pribadi dan golongan, bukan masyarakat yang memilihnya. Dia merasa berkewajiban mencari keuntungan dari jabatannya, salah satunya untuk mengembalikan modal yang keluar dalam kampanye. Akhirnya setelah menjabat, dia akan melakukan berbagai kecurangan, menerima suap, gratifikasi atau korupsi lainnya dengan berbagai macam bentuk. Tidak heran jika politik uang disebut sebagai "mother of corruption" atau induknya korupsi. Selain untuk jual beli suara (vote buying), para kandidat juga harus membayar mahar politik kepada partai dengan nominal fantastis. Tentu saja, itu bukan hanya dari uangnya pribadi, melainkan donasi dari berbagai pihak yang mengharapkan timbal balik jika akhirnya dia terpilih. Perilaku ini biasa disebut investive corruption, atau investasi untuk korupsi. Salah satu jenis vote buying yang banyak terjadi dikenal dengan nama "serangan fajar". Menggunakan istilah dari sejarah revolusi Indonesia, serangan fajar adalah pemberian uang kepada pemilih di suatu daerah sebelum pencoblosan dilakukan. Serangan fajar kadang dilakukan pada subuh sebelum pencoblosan, atau bahkan beberapa hari sebelum pelaksanaan pemilu atau sebelum proses pemungutan suara.
Adapun Politik berbiaya mahal sebagian besar untuk membeli suara, vote buying. Ada yang namanya 'serangan fajar', kadang juga disebut 'serangan dhuha'. Pemilih akan dikawal betul agar suaranya benar-benar digunakan untuk memilih seseorang," Dalam buku "Politik Uang di Indonesia: Menurut Patronase dan Klientelisme Pada Pemilu Legislatif 2014" disebutkan bahwa pembelian suara adalah praktik yang dilakukan secara sistematis, melibatkan daftar pemilih yang rumit, dan dilakukan dengan tujuan memperoleh target suara yang besar. Disebut sistematis karena terjadi mobilisasi tim yang masif untuk melakukan pendataan dan menyebarkan ribuan amplop uang, serta bergerilya untuk memastikan penerimanya benar-benar mencoblos pemberi amplop. Serangan Fajar telah dilakukan sejak zaman Orde Baru dan seakan menjadi bagian dari proses demokrasi Indonesia. Hal ini dibuktikan dari survei LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) pada 2019 yang menyebutkan masyarakat memandang pesta demokrasi itu sebagai ajang "bagi-bagi rezeki".
Bukan hanya dari sisi masyarakat, dari sisi politisi pun serangan fajar telah membangun sebuah tradisi demokrasi yang buruk. Politisi menganggap votes buying adalah sesuatu yang lumrah, dan biasa-biasa saja untuk dilakukan agar bisa mengalahkan lawanya pada pemilihan. "Terjadi prisoner's dilemma di antara kandidat. Mereka khawatir pesaingnya akan melakukan serangan fajar, sehingga dia melakukan hal yang sama" Dampak Buruk Politik Uang Mempengaruhi pilihan dengan politik uang pada akhirnya akan berdampak buruk bagi masyarakat sendiri. Praktik ini akan menghasilkan pemimpin yang tidak tepat untuk memimpin. Kebijakan dan keputusan yang mereka ambil kurang representatif dan akuntabel. Kepentingan rakyat berada di urutan sekian, setelah kepentingan dirinya, donatur, atau partai politik. "Akhirnya figur yang terpilih memiliki karakter yang pragmatis, bukan yang berkompetensi atau kuat berintegritas. Mereka memilih menang dengan cara apa pun, ini bukan sosok pemimpin yang ideal," Figur yang terpilih karena korupsi politik ini juga akan mendorong korupsi di sektor-sektor yang lain. Hal ini terjadi karena figur tersebut mengumpulkan uang "balik modal" yang dikeluarkannya selama kampanye.
Korupsi tersebut bisa berdampak di internal instansi yang dipimpin maupun kepada masyarakat. Di internal, korupsi bisa terjadi dalam bentuk jual beli jabatan atau pada pengadaan barang dan jasa. Sedangkan dampaknya kepada masyarakat, akan terlahir regulasi yang tidak memihak mereka, pungutan liar, hingga pemotongan anggaran untuk kesejahteraan. "Kerugiannya kepada masyarakat, pasti akan muncul pungutan liar, karena dia harus mencari sumber dana lain. Dia juga akan memotong anggaran, sehingga kualitas pembangun berkurang. Dalam hal ini, masyarakat mengalami kerugian langsung dan tidak langsung,"
Tidak perlu di herankan sebab telah dipahami, bahwa berbagai jenis korupsi adalah turunan dari politik uang. Maka dari itu, memberantas korupsi di Indonesia tidak akan tuntas jika politik uang sebagai induknya korupsi tidak dapat diatasi. Pendidikan antikorupsi menjadi penting agar masyarakat dapat menolak serangan fajar. Dengan penolakan tersebut, harapannya rantai korupsi yang membelenggu negeri ini bisa putus. Jika KPK dan aparat penegak hukum lainnya bisa memotong mata rantai korupsi politik, maka nyaris sekitar 66-70 persen korupsi bisa dicegah atau dikurangi secara signifikan, Kepala Satuan Tugas Direktorat Sosialisasi dan Kampanye Antikorupsi KPK, kepada ACLC. Masyarakat mesti menyadari bahwa mereka telah mempertaruhkan nasib selama lima tahun dengan menjual suaranya dengan harga yang sangat murah. "Contohnya adalah menerima amplop berisi Rp500 ribu untuk memilih orang yang tidak berintegritas. Berarti suara rakyat selama lima tahun hanya dihargai Rp100 ribu per tahunnya, atau Rp275 perak per harinya, Jikalau saja masyarakat mengetahui jelas bahwa jalan mereka tidak diperbaiki, sekolah tidak dibangun, akses kesehatan buruk, stunting, dan seluruh kebutuhan dasarnya tidak dipenuhi oleh para pemimpin yang hanya bermodal uang, sehingga Atas fakta tersebut, bisa dikatakan bahwa pendidikan menjadi modal penting dalam melawan maraknya politik uang dan termasuk korupsi khusunya di negara indonesia.