Konflik Rempang, DPP GMNI Minta Pemerintah Tak Dikendalikan Oligarki
Foto: Kardoni Vernandes, Ketua DPP GMNI Bidang Pengorganisiran massa/SangFajarNews.
Sangfajarnews.com - Dalam Konflik Agraria yang terjadi hari ini di Indonesia khususnya Pulau Rempang yang ada di kota Batam tentu menambah rentetan persoalan konflik atas tanah yang terjadi hari ini. Lebih parahnya Negara malah berpihak kepada oligarki ketimbang rakyat kecil. Apalagi Pulau Rempang tersebut sudah di huni oleh masyarakat melayu yang sudah lebih jauh menempati pulau tersebut sebelum adanya Otorita Batam.
Tentu aspek historis daerah Rempang perlu di pandang oleh pihak-pihak yang berkempentingan hari ini jangan serta merta atas nama investasi merelokasi masyarakat tanpa adanya kesepakatan dengan masyarakat adat setempat tentu akan menumbuhkan konflik.
Pemerintah dalam aspek pembagunan dan investasi harusnya perlu mengedepankan sikap yang persuatif dalam menyelesaikan persoalan apa lagi rencana relokasi tersebut terkesan di paksakan. Terbukti Pemerintah dan Kapolresta Barelang pada hari kamis Tanggal 7 September 2023 terjadi Pemblokiran jalan serta Penolakan oleh masyarakat setempat terkait pengosongan lahan di pulau Rempang.
Undang-undang nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak azasi manusia mengatur perlindungan HAM dan undang-undang nomor 26 Tahun 2000 tentang pengadilan HAM yang mengatur tentang pengadilan bagi kasus pelanggaran HAM. Kejahatan terhadap kemanusiaan yaitu kejahatan meluas dan sistematik yang di tunjukan kepada warga sipil yang tidak manusiawi dan menyebabkan penderitaan fisik dan mental.
Kekerasan terhadap warga yang di lakukan oleh piihak keamanan dalam pengamanan tentu bukan hal yang terjadi hari ini akan tetapi setiap ada proyek strategis nasional yang di paksakan dapat mengacam hajat hidup masyarakat.
DPP GMNI menilai di balik Rempang Eco City terdapat nama Tomy Winata dalam proses investasi dari cina tersebut di karenakan PT Makmur Elok Graha pemegang hak eklusif untuk mengelola serta mengebangkan Pulau Rempang yang luasnya 16.583 Hektare tersebut.
Bahwa dalam rencana pengembangan Pulau Rempang sudah di tanda tandatangani melalui perjanjian yang berlaku sejak agustus tahun 2004. Hampir sudah lebih 23 tahun rencana proyek tersebut mandek di karenakan adanya dugaan korupsi.
Artinya proyek yang di jalankan oleh Tomi Winata kerap bermasalah salah satu contohnya adalah Reklamasi Teluk Benoa proyek tersebut batal di laksanakan oleh PT Tirta Wahana Bali Internasional yang merupakan anak perusahaan dari kelompok bisnis Tomi Winata. Hal yang sama juga terjadi di Rempang 16 kampung yang ada di sana menolak untuk di relokasi oleh pemerintah meski pemerintah memberi tenggat waktu poengosongan kawasan smpai 28 September 2023.***