Masalah Agraria Desa Bangkal, GMNI Minta Negara Berpihak Pada yang Lemah
Foto: Arjuna Putra Aldino, Ketua Umum DPP GMNI/SangFajarNews. |
Jakarta, SangFajarNews.Com - Ketua Umum DPP GMNI Arjuna Putra Aldino menyoroti masalah agraria yang terjadi di desa Bangkal, Seruyan, Kalimantan Tengah yang menewaskan seorang warga saat aksi menuntut kebun sawit plasma dari perusahaan, PT Hamparan Massawit Bangun Persada (HMBP).
Masalah ini bermula dari tuntutan warga kepada PT HMBP 1 sejak 16 September 2023 lalu. Mereka menuntut 20 persen wilayah plasma dan hak atas tanah di luar HGU untuk PT Hamparan Masawit Bangun Persada (HMBP) sesuai perjanjian.
Namun hal ini tidak kunjung terwujud setelah puluhan tahun. Perusahaan hanya ingin memberikan lahan seluas 235 hektar untuk masyarakat. Sementara warga meminta paling tidak 443 hektar lahan dikelola masyarakat.
Ketua Umum DPP GMNI, Arjuna Putra Aldino menilai pemerintah sudah seharusnya berpihak pada warga bukan berpihak pada korporat. Apalagi menurut Arjuna, PT HMBP punya rekam jejak melanggar hukum. Diketahui PT HMBP menduduki lahan di luar hak guna usaha (HGU) yang bertahun-tahun digarap perusahaan sawit ini seluas 1.175 hektar.
“Menggarap lahan ribuan hektar di luar HGU jelas melanggar hukum. Ini penyerobotan. Pendudukan tanah secara ilegal," ungkapnya.
Arjuna sapaan akrabnya, mengungkapkan PT HMBP punya rekam jejak yang buruk dan selalu berkonflik dengan warga. Pada tahun 2020, dua petani dari Desa Penyang, Dilik dan James Watt, yang didakwa mencuri sawit di lahan bersengketa dengan PT Hamparan Masawit Bangun Persada, kena vonis masing-masing 10 bulan penjara.
Padahal berdasarkan pengukuran Panitia Khusus DRPD Kotawaringin Timur didapati 1.726 hektar tanaman sawit di luar HGU, 117 hektar di lahan yang dimiliki masyarakat. Keputusan Pansus DPRD juga diperkuat oleh rekomendasi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia yang meminta HMBP harus mengembalikan lahan milik masyarakat Desa Penyang. HMBP harus membayar kompensasi atas tindakan yang sudah menggarap, menguasai, memanfaatkan secara ilegal hasil dari tanah milik Desa Penyang. Kemudian BPN juga memerintahkan agar perusahaan menjalankan rekomendasi yang sudah diberikan oleh pansus.
“PT HMBP sudah lama bermasalah dengan warga. Rekam jejaknya buruk. Sudah terbukti melanggar hukum. Seharusnya Negara jangan jadi backing perusahaan yang tidak mau menghormati aturan hukum kita," tambahnya.
Arjuna juga berpendapat bahwa perusahaan tidak boleh bertindak sewenang-wenang karena negara ini adalah negara hukum. Ada aturan main yang mesti dihormati. Penegak hukum juga harus memiliki integritas dan bekerja sesuai fakta hukum yang ada. Penegak hukum jangan jadi kaki tangan oligarki.
“Negara ini negara hukum. Kalau hukum sudah tidak dihormati, lantas apa yang harus jadi rujukan? Aparat penegak hukum juga harus punya integritas, menegakan hukum tidak boleh pandang bulu," jelasnya.
Diketahui, PT HMBP adalah entitas bisnis dibawah kendali Best Grup, konglomerasi milik keluarga Tjajadi, seorang Crazy Rich asal Surabaya. Apalagi keluarga Tjajadi namanya masuk dalam Panama Paper, sebuah investigasi soal persembunyian kekayaan orang super kaya, mencatat tiga nama Tjajadi: Winarno, Rendra dan Sujanto Tjio. Mereka memiliki perusahaan yang ditaruh di British Virgin Islands, sebuah kawasan surga pajak. Menyembunyikan harta di negara surga pajak adalah cara untuk menghindari kewajiban dalam membayar pajak di negaranya.
“PT HMBP juga punya catatan negatif dalam dokumen Panama Papers. Ada potensi menghindari kewajiban dalam membayar pajak. Perusahaan semacam ini tidak perlu dibela, tidak ada kontribusi untuk bangsa dan negara. Hanya mengeruk kekayaan rakyat Indonesia. Bahkan berkonflik dengan masyarakat," tutup Ketua Umum DPP GMNI itu.
Editor : Adhar.