Mahasiswa Universitas Tanjungpura Gelar Diskusi Soal Putusan MK, Sebut Nepotisme dan Politik Dinasti
Foto: Mahasiswa UNTAN sesaat menggelar diskusi/SangFajarNews. |
Pontianak Kalbar, SangFajarNews.Com - Menyikapi putusan Mahkamah Konstitusi nomor 90/PUU-XXI/2023 yang kontroversial Mahasiswa Universitas Tanjungpura (UNTAN) gelar diskusi terbuka untuk menyikapi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait usia capres-cawapres yang kontroversial pada Kamis (2/11/2023).
Diskusi terbuka yang dihadiri anak muda dan mahasiswa tersebut membahas keresahan terkait putusan MK yang dimaksud bersifat inkonstitusional dan jelas mencederai cita-cita luhur demokrasi paska reformasi 1998 yang mana diharapkan demokrasi Indonesia bebas intervensi dari praktik Korupsi-Kolusi-Nepotisme (KKN).
Perkara yang didiskusikan sejak awal memang sudah salah, gugatan UU Pemilu Nomor 90/PUU-XXI/2023 mengenai pengujian materil pada Pasal 169 UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 Huruf q dinilai salah alamat.
"Soal syarat usia calon presiden dan wakil presiden (capres dan cawapres), ini merupakan open legal policy yang merupakan kewenangan legislative selaku dapur pembuat undang undang, bukan Mahkamah Konstitusi. Tentunya hal ini menimbulkan tanda tanya besar terhadap motif dibalik gugatan dan pengabulan gugatan UU ini!,” ujar Syainullah selaku Mahasiswa UNTAN dan pemantik diskusi.
Syainullah menambahkan, pada dasarnya dibentuk sebagai wadah yang bersikap netral untuk menampung kebijakan atau persoalan politik yang dirasa tidak adil dan berpihak pada kepentingan bersama agar dapat diselesaikan melalui penyelesaian hukum.
Justru sikap MK menjadi suatu kegamangan tersendiri ketika menerima gugatan tersebut yang dirasa sarat akan kepentingan kelompok terterntu. Ini cenderung sangat membahayakan jika mempertimbangkan kondisi politik saat ini, berpotensi sekali dapat menyebabkan kegaduhan ditengah-tengah Masyarakat.
“Seharusnya Hakim Anwar Usman selaku Ketua Hakim MK sadar akan posisinya sebagai penengah konflik, jangan malah menimbulkan kegaduhan menuju kontestasi pemilu 2024. Paling tidak para Hakim MK memahami esensi dasar cabang yudikatif sebagai bagian dari sistem trias politica yang kita anut di Indonesia, semuanya saling mengawasi termasuk Mahkamah Konstitusi bukan justru dalam mengatur kebijakan cenderung satu ranjang baik bersama cabang legislatif apalagi cabang eksekutif. Jelas ini sarat akan kepentingan keluarganya?,” ucap Syainullah.
Bahkan, jika melihat posisi MK sebagai penegak hukum di Pemilu 2024, kondisi ini terbilang sangat mengkhawatirkan.
Sejalan dengan pendapat Syainullah, Leonardo Martin, Sekertaris Jenderal Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) turut mempertanyakan putusan MK tersebut yang tidak memiliki legal reasoning yang jelas terutama ketika Hakim Anwar menolak gugatan batasan usia minimal tapi justru menambahkan syarat tambahan yang jelas merujuk kepada kepentingan tertentu.
“Saya bingung ya, soal putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 ini tidak memiliki kejelasan jika mengacu pada prinsip ratio decidendi, sehingga amar putusan yang dimaksud berujung pada kerancuan yang tidak mendasar pada legal reasoning yang jelas,” tegasnya.
Acara diskusi terbuka tersebut berakhir baik pembicara maupun peserta diskusi bersama-sama untuk sepakat menolak putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang berpotensi membahayakan demokrasi Indonesia dengan peluang budaya politik KKN-nya, serta berpotensi melangkahi wewenang MK yang tidak seharusnya dilakukan.***
Editor : Adhar.