Memperbaiki Kader di Muhammadiyah

 

Foto: Haidir Muhari, Wakil Sekretaris Majelis Pembinaan Kader dan Sumber Daya Insani PW Muhammadiyah Sulawesi Tenggara/SangFajarNews.


Penulis: Haidir Muhari, Wakil Sekretaris Majelis Pembinaan Kader dan Sumber Daya Insani PW Muhammadiyah Sulawesi Tenggara.

SangFajarNews.Com – Kader bukan hanya tentang pernah mengikuti perkaderan organisasi otonom atau terlahir dari keluarga Muhammadiyah. 

Kader bukan juga sebatas pengurus Muhammadiyah, pengurus organisasi otonom Muhammadiyah, dan karyawan pada amal-amal usaha Muhammadiyah. 

Kader bukan juga identitas yang menjadi klaim dan jualan untuk menjadi pejabat di amal usaha maupun dan di segmen-segmen diaspora. 

Kader yang dimaksudkan dalam tulisan ini adalah mereka yang senantiasa mendukung dan menggerakkan Muhammadiyah–juga organisasi otonomnya–baik dalam kepanitiaan dan giat-giat organisasi lainnya. 

Jika pengajian Muhammadiyah tidak berjalan paling tidak sebulan sekali, jika tidak ada partisipasi pada giat-giat organisasi lainnya, maka hampir dipastikan minim kader di daerah tersebut. 

Marahnya Djazman Alkindi 

Ada cerita dari senior IMM yang pernah mengikuti Darul Arqam Paripurna di Yogyakarta tahun 1999 tentang marahnya Djazman Alkindi, bapak perkaderan Muhammadiyah. 

Konon, Djazman marah karena dua hal. Pertama, karena Irfan Islami yang merupakan Sekretaris Jenderal DPP IMM dan lulusan terbaik di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta dinyatakan tidak lulus penjaringan dosen. 

Kedua, karena Syahril Syah yang mantan Ketua Umum DPP IMM yang tidak bisa disarjanakan oleh Perguruan Tinggi Muhammadiyah pada saat itu. 

Cerita itu mungkin biasa saja. Namun jika ditelisik lebih jauh kemarahan Djazman yang juga pendiri IMM cukup beralasan karena akhirnya akan berimbas pada organisasi. 

Muhammadiyah dikenal dengan tertib organisasi dan kekuatan jemaahnya. Kader-kadernya ditanamkan senantiasa lillahi ta’ala dalam menggerakkan Muhammadiyah. 

Lillahi ta’ala yang kemudian diperkuat dengan wasiat Kiai Dahlan, “Hidup-hidupilah Muhammadiyah dan jangan mencari hidup dalam Muhammadiyah”, bahwa Tuhan-lah yang akan membalas setiap amal kebaikan manusia. 

Ungkapan tersebut harus dipahami dalam tataran ideologis, bahwa kader-kader Muhammadiyah itu memilih berjuang dengan sepenuh hati dan ketulusan. 

Kekuatan jemaah Muhammadiyah juga barangkali akan elok jika dipahami kekuatan untuk bahu-membahu menyelesaikan problematika jemaah dan problematika persyarikatan termasuk mendirikan amal-amal usaha Muhammadiyah. 

Mandataris Tuhan 

Ada kisah lawas tentang orang yang berambut gondrong yang mempertanyakan kinerja Tuhan atas berbagai kemiskinan, kemalangan, kerusakan lingkungan, dan perlbagai masalah yang mengitari kehidupan manusia. Ke mana saja berjalan dan bertemu orang-orang, dia mengumpat Tuhan karena tidak becus dan lalai dari menertibkan dan memakmurkan kehidupan di bumi. 

Singkat cerita, bertemulah dia dengan seorang tukang cukur yang bijak. Kemudian si tukang cukur menyela, “Lalu apakah tukang cukur di dunia ini tidak becus, karena masih ada yang berambut gondrong?“. 

Kisah si gondrong dan si tukang cukur dapat mengambil petikan bahwa manusia adalah mandataris Tuhan yang bertanggung jawab untuk bahu-membahu menyelesaikan problematika manusia yang mungkin baginya. 

Kesemestian Keberpihakan 

Sudah menjadi sifat alamaiah manusia yang perbuatan baiknya di apresiasi. Tuhan dan Rasulullah mewartakan bahwa bagi orang-orang yang lurus menjalankan agama, akan memasuki surga tertinggi (al-jannatu al-firdaus). 

Di beberapa kesempatan saat turun ke daerah-daerah, saya menyaksikan kader-kader IMM, yang begitu serius menggerakkan organisasi, bahkan setelah mereka selesai studi. 

Beberapa memilih tetap tidak pulang kampung untuk menyelesaikan periodisasi dan amanah yang diemban. Di antara mereka ada yang tetap setia mengawal kaderisasi IMM, paling banyak Darul Arqam Dasar. 

Seperti diketahui, hampir semua penggerak IMM, khususnya di Sulawesi Tenggara adalah mereka yang jauh dari orang tua, merantau. Sehingga, harus hidup seadanya, tetapi tidak menuntut apapun dan siapapun. 

Di sisi lain, ada juga beberapa pengurus yang mau tak mau, harus meninggalkan amanah organisasi saat periodisasi berjalan karena tuntutan untuk melanjutkan kehidupan. 

Dalam konteks lebih luas, ada fenomena kader militan di masa muda, akhirnya hengkang dari persyarikatan karena fokus mengurus untuk keberlanjutan hidupnya, atau faktor-faktor lainnya. 

Tentu bumi Allah sangat luas, tetapi sebagai organisasi modern dengan ciri berkemajuan, Muhammadiyah harus mampu menyatakan keberpihakan terhadap kader-kadernya. 

Dalam konteks itu Buya Syafi’i Maarif, Ketua Umum PP Muhammadiyah 1998–2005 menegaskan “Hidup-hidupilah Muhammadiyah, jangan mencari hidup dalam Muhammadiyah. Tetapi bagi kader yang belum mapan secara ekonomi, tidak boleh dibiarkan kekurangan gizi”. 

Memberpihaki kader tidak harus berarti menyantuni mereka. Toh, paradigma persyarikatan adalah memberdayakan kader. 

Tapi paling tidak harus menjadi prioritas dalam pemberdayaan. Saat keberpihakan terhadap kader tidak berjalan, maka bisa saja persyarikatan dengan gampang akan menjadi tempat berkumpulnya orang yang hanya singgah dan memperebutkan aset-aset Muhammadiyah termasuk amal usahanya. 

Saat keberpihakan terhadap kader tidak dilakukan, maka kita harus bersedia mandeknya pengajian dan tersendatnya agenda-agenda persyarikatan.***

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url